Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hamid... Hamid

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Hamid Awaludin mestinya paham betul bahaya korupsi—sesuatu yang disebut negarawan Nigeria, Olusegun Obasanjo, sebagai kutuk terbesar dalam masyarakat abad ini. Ia tahu betapa tak efektifnya bangsa yang diserang penyakit itu. Ia paham bahwa koruptor adalah pengkhianat orang ramai.

Ia belajar hukum; ia pernah menjadi aktivis antikorupsi sebelum menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti sekarang. Tapi melihat sepak terjangnya dalam kasus pencairan dana lebih dari Rp 100 miliar milik Hutomo Mandala Putra di BNP Paribas cabang London, sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa yang dilakukannya beraroma korupsi.

Menteri Hukum sebelum Hamid, Yusril Ihza Mahendra, yang membuka cerita ini. Ia menyatakan duit milik putra bungsu penguasa Orde Baru itu halal—tak terkait dengan korupsi atau pencucian uang. Padahal kejaksaan mencurigai uang itu hasil korupsi dan kini tengah memburu dana Tommy lainnya yang juga disimpan di BNP Paribas. Tak sulit menduga mengapa Yusril—kini Menteri-Sekretaris Negara—melakukan itu semua: pencairan dana itu dilakukan oleh firma hukum Ihza and Ihza, yang sebagian sahamnya ia miliki.

Setelah Yusril meninggalkan departemen tersebut, Hamid memulai babak kedua kasus ini. Seperti Yusril, Hamid, melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus, meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memeriksa uang Tommy Soeharto itu. PPATK menjawab, pemilik uang itu ”tak ada dalam database kami”. Keterangan itu dipakai Menteri Hamid dan Dirjen Zulkarnain untuk meyakinkan Paribas bahwa uang itu tak bermasalah.

Saat bank Prancis ini meminta pemerintah menyediakan rekening untuk menampung duit itu, Hamid menyediakan rekening direktur jenderal di bawah departemennya. Bahkan Menteri Hamid sendirilah yang mengirim surat kepada BNP Paribas agar uang itu dikirim ke rekening Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan. Hanya selang beberapa jam setelah uang itu masuk, sang fulus segera menyebar ke seantero penjuru: kepada orang-orang Tommy Soeharto, kepada pengacara, kepada si Fulan, si anu, dan si itu….

Aneh bin ajaib, Hamid pernah pula mengirim surat kepada Direktur Utama Bank BNI dan menyatakan membebaskan BNI dari segala tuntutan hukum jika ada apa-apa dengan transaksi tersebut. Mengapa Hamid begitu bersemangat? Betulkah hanya karena ia ”melanjutkan apa yang telah dilakukan Yusril Ihza”, seperti yang ia nyatakan dalam wawancara dengan majalah ini? Kalau mau berhati-hati, Hamid bisa menahan uang itu, sementara ia meminta polisi, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi mengecek lebih lanjut. Semestinya Hamid curiga bahwa ada yang busuk dalam soal ini.

Sejauh ini, memang, belum ada bukti uang itu mengalir ke Menteri Hamid. Polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus bekerja keras untuk membuktikannya. Meski demikian, Hamid setidaknya melanggar tiga hal.

Pertama, ia telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: ia telah menggunakan rekening bank di bawah departemennya untuk transaksi swasta tanpa setahu Menteri Keuangan. Departemen itu juga tak diberi tahu perihal pembukaan rekening tersebut.

Kedua, Hamid melanggar Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 yang mewajibkan setiap transaksi disetorkan ke kas negara dalam waktu satu hari kerja. Alih-alih melaporkan, Hamid malah membiarkan uang itu menguap, bahkan menutup mata ketika rekening itu akhirnya ditutup setelah fulus di dalamnya ludes.

Ketiga, Hamid menyebarkan surat PPATK berkategori ”rahasia” kepada BNP Paribas dan lembaga lain. Dalam surat itu, PPATK jelas melarang penyebaran informasi yang mereka berikan tanpa izin tertulis dari lembaga tersebut.

Kisah ini berlanjut ketika PPATK curiga bahwa suratnya telah ”diselewengkan” oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. PPATK menanyakan apakah informasi yang diberikannya telah dipergunakan dengan baik. Oleh Dirjen Zulkarnain Yunus, surat itu dibalas dengan jawaban yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal. Katanya, informasi itu ”sangat bermanfaat bagi kami untuk melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik”. Sukar dibayangkan Hamid tak mengetahui itu semua.

Tiga kesalahan itu sudah cukup bagi polisi untuk bertindak. Ditambah bukti aliran dana ke Menteri Hamid, KPK bisa pula bergerak. Hamid, seperti juga Yusril Ihza dan segenap punggawanya, harus diperiksa dan disidik. Sebelumnya, Presiden harus menonaktifkan mereka agar aparat leluasa bekerja.

Tidak bisa tidak, ini mutlak dilakukan. Kecuali kalau kita tak ingin keluar dari kutuk terbesar dalam masyarakat abad ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus