PADA suatu senja, 23 November 1654,seorang lelaki hampir tewas di dekat Jembatan Pont de Neuilly, Paris. Kereta berkuda yang dinaikinya dengan kencang nyans terjungkal ke Sungai Seine. Syukurlah, pria berumur 31 tahun itu tertahan di tempat duduk. Ia selamat tak kurang suatu apa. Tapi begitu dekat ia dengan Maut, begitu mengagetkan pengalaman itu. Laki-laki itu pingsan. Yang kemudian jadi sejarah ialah bahwa selama beberapa jam tak siuman itu ia merasa Tuhan telah menampakkan Wajah-Nya. Laki-laki itu adalah Blaise Pascal. Kita tahu nama masyhur ini: ahli matematika Prancis yang menemukan mesin hitung pertama, sebuah komputer paling tua yang kini disimpan di Conservatoire des Arts et Metiers di Paris. Penemuan itu terjadi waktu Pascal berumur 19. Pada usia 25, ia makin terkenal ke seluruh kalangan ilmu di Eropa karena eksperimennya dengan air raksa dalam tabung Toricelli - dasar awal dari asas barometer. Buat beberapa waktu lamanya kemasyhuran itu - dan kekayaan yang berasal dari warisan - mendorong Pascal hidup dalam hura-hura riang. Bila ia berkeliling Kota Paris, ia naik kereta yang ditarik enam ekor kuda yang mentereng. Pergaulannya meluas ke kalangan bijak bestari dan para wamta yang memikat hati ia bahkan pernah mencoba menulis suatu risalah tentang "kegairahan cinta". Tapi kejadian di senja 23 November itu mengguncangnya bagai sihir. "Bapa Yang Adil, dunia tak pernah mengenalmu, tapi aku telah mengenalmu," demikian tulis Pascal setelah pertemuannya dengan Tuhan pada hari ajaib di musim dingin itu. "Sukacita, sukacita, sukacita, air mata sukacita ...." Kata-kata ini, berikut pengalamannya selama pingsan hari itu, ia rekam di atas perkamen, yang ia jahit di lipatan jasnya. Tapi Pascal tentu saja tak cuma akan dikenang karena itu. Pada dasarnya ia memang berasal dari keluarga yang saleh. Ayahnya, meskipun besar minatnya pada ilmu, mendidik Blaise dan adiknya, Jacqueline, dalam ketaatan beragama. Malah si adik bercita-cita jadi biarawati, dan berhasil. Blaise sendiri, yang sakit-sakitan sejak umur 18, juga cenderung kepada hidup yang serius - kecuali sehngan sementara di Kota Paris sampai 1654 itu. Dengan demikian, minatnya pada agama tak terlampau mengherankan. Betapapun, pandangannya agak ganjil bagi seorang yang terblasa dalam semangat keilmuan yang empiris. Pascal tersohor, selain karena karya ilmiahnya, juga oleh karena surat-suratnya yang polemis. Ia menyerang kaum Jesuit, bukan karena kaum Jesuit ia anggap kolot, melainkan karena ia berada di pihak paham Jansenisme. Paham ini, yang disiarkan pertama kali oleh Cornelis Jansen, orang Belanda, justru terasa "kolot" bagi suatu zaman keilmuan. Jansenisme misalnya berpendapat, manusia tak punya kemauan bebas. Bagi kaum Jansenis, manusia sudah ditakdirkan Tuhan untuk jadi jahat atau jadi baik sejak sebelum dunia diciptakan. Berbuat mulia tak akan menjaminnya bebas neraka. Hanya rahmat Tuhan yang menolong - kalau Tuhan menghendaki. Memang ada warna muram dalam pandangan seperti itu. Dan Pascal, yang sistem sarafnya telah rusak, yang gampang jengkel dan sukar senyum, agaknya cocok buat semangat Jansenis. Ia bahkan menerima sakit di tubuhnya dengan alasan penuh semangat: rasa sakit itu lebih efektif sebagai penangkal godaan ketimbang ajaran seribu filsuf. Maka, konon, ia kadang mencambuki dirinya sendiri dengan korset yang berpaku besi. Kemkmatan harus ditolak. "Keagungan manusia itu hebat, dalam hal ia tahu bahwa dirinya sendiri nestapa," kata Pascal dalam salah satu nukilannya yang terkenal. Kenyataan tentang manusia yang seakan-akan bertentangan itu memang membingungkannya - seperti juga sering membingungkan kita. Sebab, manusia memang chaos, kekacauan, kontradiksi: di satu pihak ia penyimpan kebenaran, di lain pihak ia "selokan bagi kesalahan dan rasa sangsi". Manusia hanya sebatang lalang, paling lemah di tengah alam, tapi lalang yang berpikir, un roseau pensant. Bagaimana mungkin orang yang berbicara seperti itu dapat sepaham dengan Jansenisme? Bagaimana mungkin Pascal sendiri yakin bahwa manusia hanya robot, tanpa kemerdekaan dari Tuhan ? Sukar memang memberikan suatu kesimpulan final bagi buah pikiran seorang yang begitu peka perasaan dan renungannya. Pascal itu sakit, kata seorang cendekiawan Prancis menasihati dan orang harus ingat hal ini bila sedang membacanya. Memang, sakit. Tapi justru karena itu barangkali ia dapat menggabungkan sebuah sikap religius yang paling dalam dengan sikap filsuf yang paling luiur: ia mengakui kelemahan manusla - tapi ia tak menistakannya. Membaca Pascal kita jadi ragu benarkah pemikiran Barat (seperti dikatakan orang Timur) hanya terdiri atas humanisme yang pongah dan intelektualisme yang runcing. Membaca Pascal juga menyebabkan kita teringat bahwa manusia memang bukan benda yang bisa, dan harus, dibentuk oleh manusia lain. Kita masing-masing terbatas. Kita semua terbatas. Ketika Paus Aleksander VII mengharamkan Jansenisme, 1 Mei 1655, Pascal menolak bertobat. Ia meninggal pada umur 40. "Ia tahu ia akan mati," tulisnya tentang manusia, batang lalang yang lemah itu, "dan tentang kemenangannya ini alam semesta tak tahu apa-apa." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini