TEMPO 10 Agustus, Pendidikan, memberitakan belasan siswi SMAN I Jakarta karena berjilbab dipindahkan ke SMA Muhammadiyah. Kasihan gadis-gadis berjilbab itu. Marilah kita bertanya SMAN I Jakarta itu milik siapa. Dapatkah dengan cara demikian menyelesaikan masalah secara tuntas? Di Universitas Jember tidak ada tempat buat jilbab. Boleh memakai jilbab di Universitas Jember asalkan model gadis Amerika mau mandi. Padahal, di zaman almarhum Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, di universitas negeri tidak ada larangan mahasiswi berjilbab, karena toh mereka sudah dewasa. Larangan ini muncul sebelum Prof. Dr. Fuad Hassan ditunjuk jadi menteri P dan K. Bandingkanlah semua itu dengan di Singapura. Di sana, hukum dan peraturan ditegakkan dengan keras. Singapura negara sekuler, tapi ini mengapa pemerintahnya memberikan izin khusus kepada orang-orang Sikh yang beserban, dengan membebaskannya dari keharusan menggunakan helm pengaman bagi mereka yang mengendarai sepeda motor? Di universitas dan college di Inggris gadis-gadis Muslim berjilbab diizinkan mengikuti pelajaran. Mengapa kita harus menjadi lebih Barat dari orang Barat? Namun, hendaknya umat Islam menyerahkan sepenuhnya kasus jilbab ini, kepada Majelis Ulama dan pemerintah, untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Allah swt. Bagaimanapun umat Islam, pemerintah, dan ABRI perlu waspada terhadap sisa-sisa G-30-S di bawah tanah yang bukan mustahil menyusup lewat kekuatan ormas-ormas tertentu yang mencoba untuk mencari kelemahan kita bersama. Syukur alhamdullilah, Majelis Ulama telah selesai berkongres dan Menteri P dan K Prof. Dr. Fuad Hassan menjanjikan forum terbuka untuk membicara-kan masalah-masalah seperti itu. Rupanya, setelah kodok, fatwa yang mendesak diselesaikan adalah soal jilbab. DR. SALEH ALDJUFRI Jalan Jakarta 42 Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini