Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marco Kusumawijaya
*) Arsitek perkotaan
DENGAN demam pemanasan buana sekarang, makin banyak kata terkait lingkungan bertaburan dalam bahasa Indonesia. Sebagian darinya sudah diterjemahkan dari bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia, meskipun penggunaan yang terakhir ini masih setengah-setengah.
Salah satu yang bermasalah adalah kata ”berkelanjutan” yang dianggap sebagai pengganti kata sustainable. Tetapi, dalam banyak dokumen resmi masih sering digunakan kata sustainable, dengan huruf miring ataupun tidak.
Kata sustainable berakar kata kerja sustain, yang artinya, menurut The American Heritage Dictionary (saya kutip hanya yang relevan dengan konteks lingkungan): 1. To keep in existence; maintain; 2. To supply with necessities or nourishment; provide for; 3. To support from below. Asal katanya adalah Latin, sustinere (sub + tenere), yang berarti mendukung (dari bawah).
Kata ini umumnya disandingkan dengan hal-hal terkait pembangunan, misalnya secara langsung sustainable development, atau dijabarkan lebih lanjut menjadi sustainable urban development, yang biasanya diterjemahkan menjadi ”pembangunan perkotaan berkelanjutan”. Terang, tidak perlu dijelaskan, ini berasal dari alam pikiran pembangunan-isme (developmentalism).
Pada asal demikian, maka tampak yang dimaksud ”berkelanjutan” adalah prosesnya (pembangunan), tanpa kandungan isi tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. Hal yang sama, tiadanya kandungan makna isi, terjadi ketika kata itu disandingkan dengan suatu entitas, suatu hasil, misalnya yang kerap kita dengar, ”kota yang berkelanjutan” (sustainable city). Kota yang berkelanjutan itu seperti apa?
Itulah sebabnya kata sustainable dan yang dianggap terjemahannya, ”berkelanjutan”, menjadi kabur atau terlalu terbuka. Ia misalnya digunakan antara lain dalam arti ”tetap berjalannya proyek pembangunan setelah bantuan (sering berarti: pinjaman) dihentikan”.
Bahasa Indonesia memiliki kata yang punya definisi substansi yang relevan dalam hal ini: lestari. Menurut KBBI, arti ”lestari” adalah (a) tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah, bertahan, kekal.
Kedengarannya definisi itu pasif atau statis. Tetapi kata semula yang saya garis bawahi menyiratkan tuntutan dinamika dalam konteks kekinian. Para ahli ekologi telah menganjurkan pergeseran dari pembangunan yang ”ramah lingkungan” (dampak negatif sekecil mungkin atau nol) menjadi yang ”memulihkan lingkungan”, sebab telah disadari kita tidak hanya harus mengurangi perusakan, tetapi juga memperbaiki lingkungan, mencapai kembali keadaan kapasitasnya yang semula mungkin. Karena itu, ada bentukan kata kerja ”melestarikan” yang menjadi sangat aktif, sebab terang diperlukan tindakan untuk memulihkan apa yang rusak kembali kepada keadaan dan kapasitas semula. Menurut arti KBBI itu, ”lestari” berarti kekal, bertahan. Ini adalah kata sifat yang dinamis, sebab untuk dapat kekal dan bertahan, suatu keadaan harus berubah-ubah secara kreatif dalam menghadapi hal-hal yang mengenainya. Kalau diam, malah akan tumbang, seperti diujarkan suatu pepatah Hindu ”yang terus bergerak akan tetap berdiri, yang diam akan jatuh”.
Dan, ”pelestarian”, menurut KBBI, berarti ”upaya pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya”. Meskipun ada banyak keluhan tentang cacat KBBI, saya kira definisi ini patut dipuji sebagai sangat progresif, sangat sesuai dengan perkembangan mutakhir dalam pendekatan linkungan, yang memajukan pemulihan aktif, bukan sekadar pasif ramah lingkungan.
Suatu pembangunan boleh berkelanjutan. Tetapi berkelanjutan untuk apa? Untuk menghasilkan negeri atau kota yang lestari, tentunya. Jadi mari membangun berkelanjutan sejauh menghasilkan kota dan negeri yang lestari. Suatu pembangunan justru tidak boleh berkelanjutan kalau tujuannya tidak ada, tidak jelas, menyesatkan, atau terus-menerus mengeksploitasi tanpa memulihkan.
Sejauh kata memiliki kuasa, saya menganjurkan kita mengganti slogan ”kota berkelanjutan” yang terlalu dapat ditafsirkan yang bukan-bukan dan membuat orang awam terbengong-bengong karena kosong tidak berisi panduan apa pun, dengan ”kota lestari” yang punya isi yang dapat memandu kita. Di dalam kata ”lestari” tersirat berkelanjutan, tetapi di dalam kata ”berkelanjutan” tidak terkandung isi tujuan yang jelas. Akhirnya, Salam Lestari! (Sebagaimana sudah lama digunakan di kalangan pecinta lingkungan, dan tidak lucu kalau diterjemahkan menjadi ”Salam Berkelanjutan!”).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo