Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi tentang impor paha ayam serta liberalisasi gula dan beras kembali memunculkan pertanyaan klasik: siapkah Indonesia memasuki liberalisasi perdagangan dan investasi? Jawabnya pun klasik. Ekonom "buku teks" mengatakan: siap tidak siap, Indonesia harus melakukan liberalisasi. Alasannya, secara teori, liberalisasi dapat memperbesar kue ekonomi. Bahwa liberalisasi memakan korban, itu hanyalah masalah redistribusi dari pelaku usaha yang tidak efisien kepada yang efisien.
Ekonom "proteksionis" menjawab: liberalisasi merugikan pelaku ekonomi domestik, terutama karena pihak asing banyak melakukan proteksi dan dumping. Namun, kelompok ini tidak harus berhaluan sosialis kiri. Pelaku industri yang tidak efisien pun bisa sangat proteksionistis demi mengamankan kegiatan usahanya.
Repotnya, debat mengenai liberalisasi sering tidak bebas nilai dan sarat konflik kepentingan. Lebih jelek lagi, Indonesia saat ini justru terjebak ke dalam liberalisasi terjun bebas. Akibatnya, secara neto, liberalisasi justru berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat.
Menurut hemat saya, kita perlu lebih hati-hati dan rasional dalam menerapkan liberalisasi. Alasannya, pertama, liberalisasi terjun bebas yang diterapkan berdasarkan LoI, terutama untuk sektor pertanian, terbukti merugikan. Misalnya, LoI bulan Januari 1998 menggariskan bahwa tarif bea masuk bagi produk pertanian pangan di-"terjun-bebas"-kan menjadi 0 persen, bagi nonpangan 5 persen.
Ini jelas tindakan yang sangat gegabah. Untuk beras, misalnya, dengan impor 1 juta ton lebih (batas minimumnya 70 ribu ton), Indonesia masih boleh memasang tarif hingga 160 persen. Tarif setinggi ini memang sangat merugikan konsumen, tapi penurunan hingga 0 persen (walaupun dinaikkan menjadi setara 30 persen) jelas sulit diterima. Akibatnya, indeks nilai tukar petani anjlok drastis selama tahun 1999-2000 dan belum pulih hingga saat ini.
Negara-negara maju di Uni Eropa, AS, dan Australia sekalipun tidak ada yang melakukan terjun bebas untuk produk sektor pertanian. Bahkan mereka cenderung proteksionistis karena pertanian mempunyai sensitivitas politik tinggi.
Kedua, di dalam WTO terdapat komitmen mengenai akses pasar, domestic supports, dan subsidi ekspor. Untuk akses pasar, negara anggota wajib melakukan penetapan tarif secara komprehensif, tempat hambatan nontarif diubah menjadi tarif. Setelah itu, terdapat ketentuan tentang akses pasar minimum, tempat volume impor harus minimal sama dengan volume pada tahun dasar, yaitu 1986-1988. Atau, volume impor minimal setara dengan 5 persen konsumsi domestik pada akhir tahun 2004.
Sekalipun demikian, tidak sedikit negara, terutama Uni Eropa, yang tidak konsisten. Tarifikasi memang dilakukan, tapi mereka menggunakan berbagai undang-undang domestik tentang lingkungan, kesehatan, dan dumping untuk memproteksi sektor pertaniannya.
AS pun sangat tidak konsisten terhadap komitmen pengurangan domestic support dan subsidi ekspor. Memang, WTO masih mengizinkan subsidi domestik dalam kategori green box. Tapi subsidi yang tergolong amber box, seperti subsidi harga, input, dan biaya pemasaran serta pembayaran langsung kepada produsen, harus dikurangi. Demikian juga dengan subsidi ekspor.
Berdasarkan LoI, Indonesia menghapuskan hampir semua subsidi di atas. Tapi AS setiap tahun justru memberikan pembayaran langsung lebih dari US$ 300 juta kepada petani padinya, yang berjumlah hanya 9.000-an.
Selain itu, AS mempunyai tiga bentuk subsidi ekspor bagi produk pertaniannya, yaitu konsesi kredit dan bantuan pangan, jaminan kredit ekspor, dan pembiayaan bagi pembukaan, ekspansi, dan pemeliharaan pasar produk pertanian AS. Melalui program export enhancement, misalnya, susu, kedele, dan gandum AS bisa dijual ke pasar Asia Tenggara dan Asia Selatan dengan harga lebih rendah dari harga jual domestik AS. Secara substansi, program ini bersifat dumping, tapi secara legal tidak. Sebabnya, program ini dibungkus dengan bahasa yang canggih sehingga tidak menyisakan lubang hukum untuk dituntut di WTO.
Ketiga, Indonesia selalu gagal menciptakan mekanisme transisi dalam liberalisasi, termasuk skema kompensasi dan penahapan. Liberalisasi otomotif di Australia dilakukan selama 25 tahun, dengan tarif bea masuk dikurangi bertahap 2,5 persen setiap dua tahun. Padahal, yang terkena adalah pemain otomotif besar seperti Ford. Indonesia dengan "gagahnya" melakukan terjun bebas bagi pemain kecil seperti petani, sektor eceran, dan UKM industri kayu.
Karena itu, Indonesia perlu persiapan yang lebih memadai. Pertama, harus ada cetak biru liberalisasi dengan masa transisi dan penahapan yang jelas. Kedua, skema kompensasi bagi "korban" liberalisasi perlu diciptakan, misalnya melalui penciptaan lapangan kerja nonpertanian di pedesaan. Ketiga, asas resiprositas (timbal balik) perlu dipegang teguh sehingga Indonesia hanya membuka pasar bagi negara yang membuka pasar untuk produk unggulan Indonesia. Keempat, liberalisasi tidak boleh menghambat usaha Indonesia meningkatkan kapasitas teknologi bangsa (KTB) karena di sinilah kunci peningkatan daya saing. Kelima, liberalisasi perlu diimbangi oleh peningkatan diplomasi dan intelijensi perdagangan dan investasi. Tanpa itu semua, kita akan menjadi the loser of free trade.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo