Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECEMASAN Amerika Serikat akan terus terpuruk ke jurang depresi kini mereda. Akhir bulan lalu diumumkan angka tahunan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan pertama 2002 sebesar 5,8 persen. Ini angka terbesar selama dua tahun terakhir.
Geliat pemulihan ditopang oleh pembentukan investasi tetap, khususnya perumahan. Ini merupakan respons terhadap langkah Fed menurunkan bunga secara drastis hingga mencapai titik terendah dalam kurun 40 tahun. Pengaruh stimulasi fiskal ekspansif antidepresi ala Keynesian ditunjukkan oleh lonjakan pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah sejak triwulan keempat tahun 2001. Tetap positifnya laju pertumbuhan ekonomi sendiri dijamin oleh tumbuhnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, yang mencakup sekitar 70 persen PDB.
Namun, berita baik itu ternyata tidak cukup kuat me-yakinkan investor. Meski sempat naik, indeks Dow Jones masih dalam tekanan turun. Investor yakin depresi mungkin terelakkan, tapi pemulihan akan berjalan lambat. Kenaikan pembentukan modal tetap—sebagai basis kelestarian pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang—baru berasal dari pengurangan "unintended inventory" yang menumpuk bersamaan dengan memburuknya resesi. "Unintended inventory" adalah bagian dari produksi yang tidak laku terjual dan terpaksa "dibeli" sendiri oleh per-usahaan sebagai investasi dalam bentuk persediaan. Nah, laju pembentukan modal tetap di luar persediaan ternyata tetap minus sejak triwulan kedua tahun 2001, seiring dengan muramnya keuntungan perusahaan. Kegairahan investasi memang akan meningkat bila cadangan terkuras untuk memenuhi penjualan yang meningkat.
Kegamangan investor terhadap prospek dunia bisnis dapat dicermati pada melebarnya yield-spread antara obligasi korporasi berperingkat Moody "AAA" dan Treasury Bills, yang berjangka pendek. Peringkat "AAA" adalah peringkat tertinggi yang hanya diberikan kepada korporasi dengan kapasitas superior memenuhi kewajiban bunga dan pokok obligasi.
Agar resesi tak makin buruk hingga menjadi depresi, sejak awal tahun lalu Amerika Serikat menggelar kebijakan fiskal dan moneter ekspansif secara intensif. Pemerintah AS sangat mencemaskan bila anjloknya tingkat penggunaan kapasitas produksi (yang dibiayai melalui saham dan obligasi) terpukul oleh rendahnya penjualan. Bila itu terjadi, kondisi keuangan perusahaan akan memburuk dan selanjutnya berpotensi menyulut krisis yang lebih akut. Bila earning power perusahaan melemah, harga saham turun, kemakmuran investor merosot, daya beli konsumen anjlok, selanjutnya hal itu akan menyebabkan earning power melemah.
Ekonomi AS semakin sensitif terhadap guncangan bursa. Berbeda dengan Jepang yang menurun, selama 10 tahun terakhir perbandingan kapitalisasi pasar modal terhadap PDB di Amerika Serikat terus meningkat. Rekor ekspansi ekonomi terlama sepanjang sejarah di era administrasi Clinton dimungkinkan oleh besarnya minat investor global melakukan investasi di Amerika Serikat, memanfaatkan inovasi teknologi dan integrasi keuangan global.
Meski stok utang pemerintah mencapai US$ 6 triliun, dengan PDB per triwulan senilai US$ 10 triliun, Amerika Serikat adalah tujuan ekspor utama dan penyumbang surplus perdagangan penting bagi banyak negara.
Besarnya minat investor asing membuat dolar semakin overvalued, yang meningkatkan defisit neraca berjalan. Amerika Serikat tenang saja. Dengan cerdik Abang Sam menggunakan kekayaan negara lain yang diinvestasikan di pasar modalnya untuk mengimpor komoditi negara lain.
Namun kini dunia seolah terpenjara di dalam sangkar emas. Sebab, jatuh-bangun ekonomi Amerika Serikat sangat memengaruhi negara lain. Bahkan, bila Amerika Serikat jatuh, negara lain tidak hanya ikut jatuh, tetapi juga sekalian tertimpa tangga!
Menurut kajian Bahana Securities mengenai sifat hubungan perdagangan internasional antara Amerika Serikat dan beberapa negara Asia, selama tahun lalu defisit perdagangan AS (atau surplus bagi negara lain) menurun. Perkecualian hanya terjadi pada Korea Selatan. Surplus dengan Hong Kong telah berlangsung sejak 1993, sedangkan dengan Singapura baru terjadi 2001. Jepang paling terpukul, surplusnya anjlok 15 persen, terburuk sejak 1996.
Pencermatan terhadap koefisien korelasi antara laju pertumbuhan PDB dan pertumbuhan impor Amerika Serikat menyimpulkan, negara Asia sangat sensitif terhadap gejolak konjunktur Amerika Serikat. Negara seribu motherboard Taiwan paling terimbas, dengan koefisien korelasi total impor 0,87, manufactured goods (MG) 0,85, dan machinery and transportation equipment (MTE) 0,85.
Bagaimana dengan Indonesia? Tekanan politik tempo hari agar Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Amerika Serikat sebetulnya tidak beralasan. Selama 2001, impor Amerika Serikat dari Indonesia mencapai US$ 10,1 miliar (turun 2,7 persen dibanding 2000). Sementara itu, ekspor Amerika Serikat ke Indonesia mencapai US$ 2,5 miliar (turun tipis 1,9 persen). Alhasil, selama 2001 Indonesia menikmati surplus US$ 7,6 miliar, setara dengan 30 persen total surplus atau 42 persen surplus nonmigas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo