Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap 3 Mei, wartawan memperingati hari kebebasan pers sedunia. Bagaimana kondisi kebebasan pers di Indonesia? Pers kita akhir-akhir ini sedang menuai angin kencang, walaupun tidak sampai sekencang badai.
Pada 6 Desember 2001, dalam rapat kerja Komisi I DPR, kritik keras terhadap pers dilontarkan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu'arif. Ada lima "penyakit" yang "merusak pers" pada era reformasi, katanya, "sehingga menimbulkan fenomena kebablasan dalam pola pemberitaannya."
Kelima "penyakit pers" itu: pornografi, character assassination, berita bohong dan provokatif, iklan "yang tidak lagi dalam dimensi sebenarnya", dan banyaknya berkeliaran wartawan yang tak jelas institusinya. Untuk "membenahi" kehidupan pers yang demikian itu, Menteri Negara mengusulkan revisi Undang-Undang Pers. "Bagaimanapun," kata Menteri, "pers tidaklah bebas sebebas-bebasnya. Harus ada rambu-rambu yang akan membatasi kebebasan."
Kesangsian bahwa arah perjalanan kebebasan pers sudah benar terakhir kali datang dari para anggota Komisi I DPR, walaupun hanya dalam bentuk pertanyaan kepada Dewan Pers dalam rapat dengar pendapat umum 21 Maret 2002.
"Setujukah Dewan Pers dengan pernyataan bahwa pers Indonesia sudah dianggap berlebihan atau kebablasan dalam menerapkan prinsip kebebasan pers?" Itulah pertanyaan pertama Komisi I DPR, yang langsung diikuti dengan pertanyaan berikutnya sebagai bagian dari pertanyaan pertama itu juga: "Apakah cukup relevan, oleh karena itu, RUU Pers memang harus direvisi?"
Dewan Pers kemudian menjawab: "Kebebasan pers, seperti juga kebebasan berekspresi, merupakan upaya manusia... untuk menghimpun dan menyiarkan informasi serta pendapat seluas dan semendalam mungkin. Dengan kata lain, kebebasan pers memberikan peluang kepada para wartawan untuk semaksimal mungkin berupaya menyajikan karya jurnalistik yang memenuhi standar profesional. Karena itu, sebenarnya dunia pers tidak mengenal istilah apa yang disebut 'berlebihan' atau 'kebablasan' dalam masalah kebebasan pers."
Mengenai revisi UU Pers diakui bahwa Dewan Pers telah membicarakannya di Surakarta pada 13 September 2001. Tetapi, tujuannya bukan untuk mengubahnya menjadi undang-undang yang lebih restriktif, melainkan, sebaliknya, lebih melindungi kebebasan pers. Bila sekadar ingin menghukum pers, Dewan Pers mengingatkan bahwa dalam KUHP saja sudah ada sedikitnya 38 pasal yang dapat digunakan untuk mengadili pers dan wartawan. Tiga di antaranya adalah pasal-pasal yang berasal dari Undang-Undang Antisubversi, yang undang-undangnya itu sendiri sudah dihapuskan. Sejumlah pasal KUHP itu bahkan menyediakan hukuman penjara sampai tujuh tahun. Padahal, idealnya, di negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers, karya jurnalistik tidak harus menyebabkan wartawan masuk penjara, melainkan hanya dijatuhi sanksi pidana denda.
Untuk memberikan gambaran lebih adil tentang perkembangan pers pada masa reformasi, tentulah perlu juga dicermati begitu banyak karya jurnalistik sebagai hasil peliputan komprehensif, mendalam, atau bahkan investigatif.
Sekadar contoh, dapat disebutkan peliputan investigasi harian Kompas, ketika pada April 2000 membongkar penyelundupan minyak tanah dan solar di pantai utara Jakarta dan di daerah-daerah lain. Penyelundupan di pantai utara Jakarta yang sudah berlangsung bertahun-tahun segera berhenti, hanya kurang dari 24 jam setelah edisi Kompas yang memuat berita itu mulai beredar di pasar media di Jakarta.
Pembongkaran penyelundupan bahan bakar itu dilanjutkan oleh majalah Tempo melalui investigasi yang dramatis. Peliputan ini pastilah mendebarkan jantung para wartawannya ketika mereka dikejar oleh para penyelundup.
Bahkan di wilayah konflik Maluku Utara, pers yang bebas dapat memberikan kontribusi sangat berarti bagi pemulihan perdamaian antara penduduk Islam dan Kristen. Permadi dari Komisi I DPR, sepulang dari kunjungan ke provinsi itu, memuji pers di sana karena ikut menciptakan suasana damai dengan membuat berita-berita yang lebih menekankan prinsip jurnalisme damai.
Pengamat politik Denny J.A. menulis di harian Media Indonesia bahwa pers kini dapat mengungkapkan "kebohongan publik oleh pemerintah". Pers yang bebas dan independen, katanya, "telah menjadi senjata berat yang dapat menghukum tak hanya konglomerat hitam, tapi juga politikus hitam."
Akan tetapi, mengapa "angin kencang" tetap juga berembus ke arah pers? Tessa Piper, konsultan media dari Inggris, berpendapat bahwa belakangan ini agaknya terlalu banyak kecenderungan orang memusatkan perhatian pada aspek-aspek negatif media di Indonesia. Tetapi mereka mengabaikan atau menolak banyak perkembangan positif dalam industri pers sejak kejatuhan pemerintah Orde Baru.
Padahal, tulis Piper dalam artikelnya di harian The Jakarta Post, hanya empat tahun yang lalu, siapakah yang dapat membayangkan bahwa media akan terang-terangan menampilkan isu-isu korupsi dan penyalahgunaan jabatan pada jajaran politik paling tinggi? Penyalahgunaan kekuasaan, impunitas (kejahatan tanpa pernah dihukum), pelanggaran hak asasi manusia, semuanya kini menjadi topik bahasan sehari-hari dalam media. Sekarang tidak ada lagi tabu untuk melaporkan konflik agama, dan konflik ras, sehingga masyarakat akhirnya lebih memahami kompleksitas kekerasan yang terjadi di berbagai bagian negeri ini.
Memang, kata Piper, laporan-laporan itu tidak dapat mengakhiri korupsi, atau memecahkan konflik yang ber-serakan. "Tetapi, media manakah di dunia yang mampu atau yang seharusnya bercita-cita mencapai hal-hal seperti itu? Peranan media adalah menyebarkan fakta. Janganlah terperangkap oleh pikiran untuk mempersalahkan si pembawa pesan, karena sebenarnya, adalah kebijakan publik dan sistem hukum yang seharusnya menanggulangi akar penyebab masalah-masalah ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo