SEORANG tukang becak tadinya menganggap pegawai Pemda itu makhluk pilihan yang diturunkan dari balik awan untuk menjaga penduduk, termasuk membersihkan jalan selokannya serta memberi hiburan kepada orang banyak lewat komedi putar. Tapi, begitu digalakkan daerah bebas becak, apalagi sesudah becaknya diberangus dan dicemplungkan ke dalam laut untuk tempat ikan-ikan bergerombol, sikapnya pun segera berbeda. Mereka semacam angkat sumpah dengan sesamanya, agar tidak memungut mereka jadi menantu, karena menantu model begituan hanya bisa bikin susah dan tidak bisa dipegang itikad baiknya. Begitu juga, seorang baginda raja yang didaulat sepupunya tanpa ampun berganti jadi memusuhi kerajaan dan menganggap lebih baik jadi republik dengan memberikan kesempatan kepada rakyat jelata untuk ikut memerintah, tak peduli ia berasal dari mana saja. Baginda yang dulunya anggun dan kemilau kini berubah seperti petani kebanyakan dan tiap pagi cuma merenung dan menyumpah-nyumpah. Banyak orang menduga beliau akan ambil keputusan singkat bunuh diri, tapi karena bunuh diri itu memerlukan keberanian luar biasa, peristiwa itu tak kunjung terjadi. Bahkan kekasih saya sendiri, yang sebelum kejadian memuji saya dalam tiap kesempatan, dan bersumpah akan siap masuk surga ataupun neraka jika keadaan menghendaki, begitu putus karena kecelakaan, menganggap saya tak ubahnya seekor kadal yang tak layak dilihat sebelah mata. Segala puja dan puji berubah menjadi caci dan maki, seakan kursi yang dijungkirbalikkan. Saya, yang menganggap hidup ini tak ubahnya roda delman yang sebentar berputar keatas dan sebentar bergulir ke bawah, atau seperti wayang, yang tergantung cerita, sebentar terpajang dan sebentar berbaring dikotak, menganggap semuanya itu lazimnya jalan cerita yang tidak perlu dirisaukan. Akan halnya seorang pejabat tinggi, karena suatu sebab yang tidak jelas tiba-tiba menjadi mantan, telanjur menjadi determinis yang menganggap jabatan itu berlaku untuk dirinya hingga kiamat, bisa menjadi amat terguncang kehilangan keseimbangan. Misalnya, beliau yang dikenal menganggap Bung Karno seakan tidak pernah ada di dunia, persis seperti anggapan-anggapan resmi dan terbuka, begitu menjadi mantan berubah menjadi orang yang kehilangan barangnya di tengah jalan dan tak tahu cara memperolehnya kembali. Yang boleh jadi lebih mengharukan adalah bagaimana seorang mantan tiba-tiba menjelma menjadi orang yang amat memperhatikan pemerataan rezeki, sesuatu yang boleh jadi tadinya jarang melintas dalam kepalanya, sehingga terasa seperti sebuah dongeng. Ia mendadak jadi seorang sosialis tanpa persiapan sama sekali. Lebih dahsyat lagi, ia pula mendadak menjadi seorang pejuang demokrasi, seakan seorang Thomas Jefferson tiba-tiba bangun lagi dari lubang kuburnya dan berdiri di depan kita. Begitu mendadaknya sikap-sikap mendasar itu muncul, sehingga lebih mirip sebuah keajaiban, seperti layaknya bayi tabung. Jangankan seorang mantan pejabat tinggi, hatta seorang lurah pun bisa saja mengidap kelainan yang menggelikan. Ia yang biasa memperoleh tabik dan ucapan selamat pagi dari penduduk dan satpam. Ia yang biasa dipersilahkan duduk di ujung mahjanah ketika kenduri. Ia yang biasa disambut dengan anggukan kepala entah pertanda setuju atau sekadar basa-basi. Begitu ia berubah jadi mantan lurah, tak ada lagi orang ambil pusing, anak-anak lebih tertarik pada layangan putus dibanding dirinya. Maka, sunyilah rasanya dunia ini, seakan semua makhluk tidak bermulut. Sekadar menjaga wibawa supaya jangan musnah seluruhnya, ia biasa menendang seekor kucing yang lagi termenung, sehingga binatang itu terkejut dan lari menyuruk ke kolong tempat tidur. Sikap optimistis, sikap progresif dan percaya diri tampaknya bisa jadi penawar mereka yang merasa kehilangan tempat berpijak karena lenyapnya jabatan resmi. Mereka yang merasa tidak ada gunanya tanpa jabatan, karena memang tadinya ia tidak ambil pusing kepada kualitas manusia, melainkan kelewat mengandalkan kepada nomor mobil, kepada baju safari, dan kepada lencana-lencana. Ia yang tadinya cuma melihat dan mendongak ke atas, sekarang harus mulai melihat ke bawah, karena di bawahlah tempat sesama manusia dengan segala persoalannya. Dia, yang tadinya cuma melihat ke atas tempat bergantung segala harapan dan masa depan, kini harus merasa jadi burung gereja di padang luas tak ubahnya seperti binatang sejenisnya yang lain. Sebab, setinggi-tinggi sang bangau terbang, pada akhirnya pulang kembali ke kubangan jua. Bangau yang bermaksud terbang di atas terus akan lenyap dibawa angin entah ke mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini