Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELALUI langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga SBI menjadi 9,53 persen. Kelihatannya tren ini masih akan terus berlangsung. Tapi, apakah langkah ini sekadar gagah-gagahan Burhanuddin Abdullah sebagai gubernur baru, ataukah ini memang langkah yang perlu dan masuk akal?
Kita awali dengan data terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang menunjukkan gambaran sebuah ekonomi yang telah kehilangan momentumnya. Jika tak ada kejutan, perekonomian kita hanya akan bertumbuh 3,3 persen per tahun. Stimulus jangka pendek memang dapat diberikan melalui penguatan rupiah, tapi dampaknya terhadap pertumbuhan sangatlah terbatas. Adapun momentum jangka menengah hanya dapat diwujudkan melalui investasi fisik. Karena itu, penurunan suku bunga secara cepat dan terukur memang diperlukan saat ini. Pelonggaran ini paling tidak didukung oleh empat kondisi penting.
Pertama, terjadinya pelambatan momentum inflasi. Di kalangan akademisi sudah muncul ekspektasi akan inflasi di bawah 8 persen pada tahun 2003. Faktor ini makin didukung oleh penguatan rupiah belakangan ini, ditambah lemahnya harga komoditas di pasaran dunia (karena lesunya perekonomian global).
Kedua, tersedia peluang untuk melonggarkan moneter karena realisasi uang beredar masih di bawah target yang ditetapkan IMF. Ini masih ditambah lagi faktor ketiga, cukup berimbangnya sisi permintaan dan penawaran agregat sehingga tekanan inflasi tak terlalu besar.
Keempat, suku bunga riil Indonesia masih relatif cukup tinggi di Asia. Hal ini telah menyebabkan masuknya aliran dana jangka pendek yang bisa mendestabilisasi keadaan. Kalau tak percaya ini berbahaya, coba tanyakan faktor fundamental apa yang mendorong saham-saham "sampah" di bursa efek sehingga naik begitu fantastis. Tidak ada, kecuali faktor likuiditas semata. Dan kalau likuiditas kering, mini-crash akan menyusul.
Jadi, dengan gambaran seperti itu, jelas ada ruang untuk penurunan suku bunga SBI yang cukup substansial (ke arah 9 persen). Bukan itu saja, kita pun akan mengalami penurunan suku bunga kredit.
Selain SBI, ada faktor statistik yang mendasari ekspektasi turunnya suku bunga kredit. Dalam 15 tahun terakhir, terdapat dua rezim selisih suku bunga kredit-deposito (spread), yaitu rezim ketat dan longgar. Pada rezim longgar, seperti yang terjadi saat ini, rata-rata spread suku bunga adalah 4,5-5 persen. Melihat prediksi suku bunga SBI dapat turun ke tingkat 9 persen, suku bunga kredit modal kerja sebesar 17 persen pada saat ini jelas kelewat tinggi. Dengan kata lain, terdapat peluang yang sangat besar (90 persen lebih) suku bunga kredit akan turun. Tingkatnya sangat mungkin menjadi 14-15 persen.
Ini semestinya membuat kita semua bahagia. Namun, ternyata ada dua tahap reaksi publik yang menarik untuk diperhatikan. Yang pertama, nyaris semua setuju penurunan ini adalah langkah positif bagi perekonomian, dan tersirat harapan pada gilirannya dapat mendorong kredit dan pertumbuhan.
Pada tahap kedua, yang belakangan mulai muncul adalah usaha menghentikan penurunan suku bunga. Reaksi ini perlu kita cermati karena cenderung berpandangan sempit dan datang dari sementara kalangan perbankan yang telah menikmati berbagai privilese luar biasa.
Sudah bukan rahasia, kebanyakan bank kita hidup melalui obligasi pemerintah yang menjadi bagian dari aset mereka. Fakta "loan to deposit ratio" juga menunjukkan perbankan masih kesulitan menyalurkan kredit. Begitu hebatnya keengganan bank menyalurkan kredit, sampai-sampai peserta lelang surat utang negara beberapa bulan lalu didominasi oleh perbankan nasional.
Padahal, dengan penurunan suku bunga, insentif bagi debitor untuk meminjam dari bank semakin besar. Dari sisi kreditor (perbankan) juga akan semakin besar insentif bagi bank untuk kembali ke bisnis intinya, yaitu pemberian pinjaman. Selama ini kebanyakan bank hidup dari bunga obligasi. Melalui cara ini, beberapa bank bisa melakukan "subsidi silang" untuk menutup penerimaan yang rendah (bahkan negatif) dari aset-asetnya yang lain. Dengan turunnya SBI, hal ini tak dapat lagi terjadi.
Ada dua kesimpulan dari tulisan ini. Pertama, melalui penurunan suku bunga SBI, perbankan Indonesia telah memasuki tahapan yang penting. Kita akan segera dapat membedakan mana bank emas, mana yang loyang. Saya menduga si loyang akan terus melobi untuk menahan penurunan suku bunga. Dan saya harap BI akan berani mempertahankan kebijakannya. BI seyogianya mempunyai langkah antisipatif kalau situasi memburuk. Kalau tidak, Burhanuddin akan kehilangan kredibilitas di awal jabatannya.
Catatan kedua, apakah penurunan ini dapat diterjemahkan menjadi penyaluran kredit? Di sinilah tantangan terbesar Burhanuddin. Dalam dua tahun terakhir—dan BI perlu jujur mengakuinya—masalah disintermediasi kredit masih terus berlanjut. Meski harus diakui, BI memang punya keterbatasan untuk "memaksa" perbankan. You can lead a horse to the water, but you cannot make the horse drink from it.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo