LUT berdoa, "Tuhanku, tolonglah aku mengalahkan kaum yang berbuat kejahatan." Maka, suara gemuruh menimpa Kota Sodom pada waktu matahari terbit. Bumi terbalik, dan batu-batu keras turun bagaikan hujan. Quran mengingatkan kembali bencana itu. Perjanjian Lama juga berkisah tentang hujan belerang serta api. Dan sejak itu, Kota Sodom selalu dikaitkan orang dengan dosa dan hukuman. Khususnya: dosa tersendiri penduduk kota kuno yang namanya merupakan asal usul istilah sodomi itu. Dosa itu adalah dosa lelaki "yang mendatangi pria dengan nafsu berahi", seperti tersebut dalam Surat Al-A'raf. Dosa itulah yang mendesak orang-orang Sodom memaksa Lut menyerahkan tamu-tamunya, "agar kami memuaskan gairah kami dengan mereka", seperti disebut dalam Genesis. Dosa itulah yang pernah disebut Petrus sebagai "kelakuan cabul". Tapi barangkali dosa memang tak direncanakan punah dalam sejarah. Kota Sodom hancur, toh homoseksualitas terus. Di dalam kesusastraan Jawa, ada misalnya kisah perjalanan Mas Cebolang menurut Serat Centhini. Saya punya seorang teman yang menunjukkan satu adegan dalam buku panjang itu: bagaimana Bupati Wirasaba melakukan hubungan seksual dengan Mas Cebolang alias Mas Ngali, seorang putra pertapa yang tengah mengembara di abad ke-17. Dan nada Centhini bukanlah nada kutukan. Memang tersirat sedikit sikap main-main. Centhini menyebut hubungan seks itu dengan istilah jambu dan jinambu - mungkin ada hubungannya dengan buah Eugenia malaccensis. Ki Adipati pada akhirnya dikisahkan sebagai pihak yang kesakitan, tepatnya pada anus. Tapi apa yang dilakukan Mas Cebolang, baik ketika ia "dijambu", maupun ketika ia "menjambu", tampaknya dimaksudkan sebagai sebuah ilustrasi keunggulan. Jambu-menjambu itu hanyalah sekadar variasi, karena baik Ki Adipati maupun Mas Cebolang bukanlah orang-orang homoseksual 100%. Memang, Cebolang digambarkan sebagai pemuda yang cantik, "satuhu lamun binagus/lir lanyapan munggeng kelir/amung pasemone wadon". Dengan kata lain, rupawan, bagaikan tokoh wayang, dengan raut muka kewanita-wanitaan. Tapi avontur seksualnya, sebagai pria sejati, dikisahkan dengan bersemangat pula oleh Centhini. Homoseksualitasnya dengan demikian hanya satu elemen dalam keserba-bisaannya. Cebolang pintar dengan kekuatan magis, ia kuat berpuasa dan ia - yang diiringi empat santri - bersembahyang pula. Sang pelaku sodomi pada akhirnya tetap utuh sebagai tokoh yang terhormat. Sikap Centhini dalam episode itu mirip dengan sikap para perekam kehidupan Yunani di zaman Socrates, ketika orang tanpa risi tanpa malu berhubungan dengan cewek dan cowok sekaligus. Tapi yang sedemikian itu jelas tak berlaku buat semua tempat, di setiap zaman. Berapa tahun Rock Hudson harus menyembunyikan diri sebagai homoseksual, agar ia tetap diterima khalayak yang "terhormat"? "Cinta adalah putus asa," ujar Jean Genet. Orang ini mungkin homoseksual pertama abad ke-20 yang membentangkan diri sebagai dirinya: seorang sodomis, dan sekaligus seorang kriminal, yang hidup dari penjara ke Penjara. Pada akhirnya ia jadi Penulis. Filosof Jean--Paul Sartre menyebutnya, setengah serius, sebagai "Santo Genet". Genet memang kemudian diterima baik oleh "orang baik-baik". Tapi seperti dikemukakan Sartre dalam studinya, perjalanan novelis, penyair, dan dramawan dari sel gelap ini memang sunyi, ngeri. Jalan ke luar tak ada. Kisah cinta Genet adalah kisah perbudakan. Aspek lain dari seksualitasnya adalah kebencian. Ia berseru, dalam satu novelnya, sendu: "Oh, para pria itu, kubenci mereka dengan penuh cinta!" Genet, seorang homoseksual pasif pada mulanya, hanya menerima. Dan pada saat ia berubah menjadi pihak yang aktif, ia tak sepenuhnya merasakan kebahagiaan. Kesunyiannya, pada suatu masa, begitu lengkap. "la temukan di mana pun juga lokan-lokan kosong,' tulis Sartre, "mayat-mayat, rumah yang ditinggalkan." Kesepian itu tak juga berakhir, ketika Genet bebas dari penjara, termasyhur, dan hidup bersama sebuah keluarga. Barangkali itulah sebabnya seorang homoseksual tenar lain menyelesaikan soalnya dengan lebih drastis. Yakni Mishima - orang yang mengisahkan ejakulasinya yang pertama ketika ia, sebagai anak kecil, melihat gambar setengah telanjang Santo Sebastian yang terbunuh anak panah. Di ujung hidupnya Mishima bunuh diri dengan pedang. Bersama seorang pemuda. Saya tak tahu akan begitulah seterusnya dengan atau sonder AIDS - lanjutan bencana di Kota Sodom. Tokoh-tokoh baru mungkin akan muncul, telaah baru mungkin akan bertambah, dan kita mungkin akan berpikir: apakah sebenarnya yang kita hadapi? Sebuah penyelewengan? Sebuah kelompok minoritas yang dianggap menjijikkan? Sebuah tragedi? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini