Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Moyang pembohong

Untuk mendapatkan hasil obyektif jumlah penduduk indonesia, desa-desa dibuat petak-petak baku yang disebut blok sensus. orang-orang tak bisa menjamin jumlah penduduk indonesia yang dikeluarkan biro pusat statistik.

12 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH Anda pernah mencoba menghitung, berapa banyak orang yang ada di Pasar Beringharjo? Atau mengelompokkannya, berapa laki, berapa perempuan? Mungkin istri Anda pernah iseng mencatat populasi lalat yang ngeriung di tukang daging. Bila itu Anda lakukan, atau istri Anda berani mencoba, saya berani bertaruh: Tentulah orang akan menuduh, Anda pasangan sableng. Tetapi kenapa Anda membiarkan orang menyuruh saya statistisi - menghitung seantero penduduk Indonesia? Kenapa Anda turut berharap, saya bisa menghitung cermat semua penghuni Pasar Klewer, Kampung Ambon, Pulau Bungin sampai seluruh jorong di Limapuluh Koto? Kenapa Anda menuntut statistik mesti tahu berapa laki, berapa perempuan, berapa umur, berapa anak, berapa sekolah, berapa mangkir? 'Kan itu pekerjaan mustahil. Tetapi apa boleh buat. Itulah nasib juru perangkaan. Ibarat tahu campur perlu kecap. Mantra pembangunan mesti dengan data lengkap. Ibarat orang kenduri, hajat supaya jadi, doa mesti yang sahih. Angka statistik pun mesti yang canggih. Maka, biar semua orang tahu, data statistik mesti dihimpun. Ingatkah Anda ledekan liar - damned liar and statistic? Coba i-nda pikir. Biro Pusat Statistik kok berani-beraninya bilang penduduk Indonesia, akhir Oktober 1985, ada 163 juta 875 ribu, 889 orang. Lho 'kan kebangetan berani membual begitu. Apalagi dibilang laki nya ada 82 juta 345 ribu, 596 orang. Perempuannya 81 juta 530 ribu, 293 orang. Bagaimana cara menghitung, atau mengisap jempolnya?. Apa Anda kira, di antara statistisi sendiri ada yang berani menjamin seratus persen, kebenaran angka itu? Tidak ada!. Kalau ada yang bisa menjamin angka itu benar seratus persen, ia pastilah tukang obat. Bukan statistisi tulen. Lalu, dengan gagah berani hasil Survei Penduduk Antar-Sensus (Supas) itu pun dirinci lanjut. Provinsi ini sebegini, provinsi itu sebegitu. Umur muda sekian, umur tua sekian. Anak umur SD yang bersekolah sebanyak ini. Mau tahu beda antarprovinsi, antardaerah ditanggung bisa disaji. Sampai rinci satuan hiji-hijian. Yang ikut KB, yang pernah pindah, semua ada angkanya. Semua tersedia datanya lari hasil Supas 1985. Perkara cara menghitungnya, tanyalah saya. Dijamin mumet untuk mengertinya. Anda ingin mencoba merasakan betapa pusing mengikuti jalan pikiran ahli statistik? Silakan! Penduduk seantero Indonesia ini dianggap dirakit dalam somah. Setiap penduduk tentu anggota rumah tangga. Biar rumah tangganya sorangan, laki-bini, anak beranak atau keluarga batih. Nah, karena rumah tangga mesti ada di desa -- tidak ada lagi yang di gua atau di kerajaan atas angin -- desa-desa dijadikan patokan hitung. Kalau ini gampang. Sebab, Camat mesti tahu berapa - desa dibawahkannya. Bupati tahu berapa camat di bawah perintahnya. Atau ada yang belum tahu? Desa-desa itu dipetak-petak baku agar mudah ngombyoki-nya. Petak baku ini disebut blok sensus. Sepetak isi sekitar 100 rumah tangga. Tentulah tidak pas. Saya bilang kurang lebih. Karena itu, hasil hitungannya nanti dibayangi dampak kurang lebih ini. Dampak variasi besarnya ombyokan. Bila di-ombyok-i begitu, seluruh Indonesia ada 263 ribuan blok sensus. Rada mudah membayangkan penghitungannya bukan? Tetapi dasar statistik ogah menghitung yang banyak-banyak, ia cenderung main comot contohnya saja. "Coba, dari sekian blok sensus itu, dihitung beneran seperdua puluh limanya sajalah," kata statistisi. Lho. 'Kan mulai ketahuan belangnya. Ketemu 12.541 blok sensus yang benar-benar diketuk pintu demi pintu sore, pagi, bahkan malam. Dihitung, di-plototin untuk meyakinkan kebenaran jawabannya. Bolak-balik dicek dan dicek lagi angka-angka isian itu. Maka, hasilnya tentu saja tidak pas. Kemelesetan boleh jadi ada. Cuma ahli statistik suka berdalih. Teknik mengambil contoh yang seperdua puluh lima itu bukan sembarangan teknik. Itu ombyokan rumah tangga, yang disebut blok sensus pakai diacak segala. Milih contohnya pakai memejam - sistem salabim - buka angka acak. Seperti lotere, supaya milih sasaran cacahnya tidak bias. Nanti dikira, mentang-mentang rumah mertua, kampungnya dilewati. Maksudnya - boleh percaya boleh tidak - supaya hasil hitungannya obyektif. Kalau mau menaksir angka seluruhnya, kini tinggal membalik saja. Kalikan saja dua puluh lima. Beres. Nah, setelah cukup pusing, silakan istirahat. Percaya atau tidak, yang dilakukan statistik jauh lebih ruwet langkahnya dari dongeng di atas. Yang itu, versi sederhananya. Tetapi dari cara kerja begitu, yang patut diharapkan memang hanya gambaran global saja. Seperti tingkat pertumbuhan penduduk menunjukkan indikasi menurun dari rata-rata per tahun 2,32% kurun 1971--1980 menjadi rata-rata 2,13% kurun 1980-1985. Biar lamban, proporsi penduduk Jawa makin kurangan. Kini tinggal 60,7% dari angka 1980 sebesar 61'9%. Walaupun skala mutlaknya tetap mengerikan, hampir 100 juta orang ("persis"-nya 99,5 juta). Masih ada sejumlah perkara hasil Supas tentu saja. Kenapa laki lebih banyak dari wanita, 'kan itu tidak lazim? Kenapa Yogyakarta tiba-tiba melonjak tingkat pertumbuhannya? Dari 1,10% per tahun rata-rata kurun 1971-1980 menjadi 1,52% kurun 1980-1985. Dan lain-lain. Sabarlah! I still make up my mind. Don't confuse me with facts.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus