Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apa yang ada dalam sebuah nama? Sesuatu yang kita sebut mawar masih tetap saja harum dengan nama yang lain.” Ungkapan terkenal dari Shakespeare ini sepintas lalu seperti memperlihatkan dengan cukup jelas salah satu prinsip terpenting bahasa, yakni watak manasuka (arbitrer) dari tanda bahasa. Dalam ungkapan itu, tersirat pengertian bahwa dalam bahasa tak ada hubungan satu-satu yang langsung dan pasti antara penanda (citra/bunyi) “mawar” dan petanda (konsep) “mawar”.
Namun, jika ditilik lebih jauh, ungkapan tersebut justru memperlihatkan kesalahkaprahan—untuk tidak menyebut kesalahpahaman—yang sangat umum terjadi saat orang berbicara tentang watak (tanda) bahasa yang bersifat manasuka.
Yang dimaksud dengan kesalahkaprahan di sini, tiap kali prinsip ini dibicarakan atau ditulis, apa yang sering diandaikan adalah manusia, sebagai subyek yang menggunakan bahasa, bebas memakai sebutan (penanda/signif-ier) apa saja untuk menunjuk sesuatu (konsep/petanda/signified) yang dianggap telah ada sebelumnya, mendahului bahasa.
Dengan kata lain, apa yang umum terjadi adalah prinsip manasuka dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan penanda bahasa: hanya penanda (citra/bunyi) yang bersifat berubah-ubah, sementara petandanya (konsepnya) tetap dan telah ada sebelumnya serta bisa disebut dengan sesuka hati oleh si pengguna bahasa.
Kesalahkaprahan atau kesalahpahaman dalam memahami watak manasuka dari bahasa inilah yang juga tersirat dari kias-an tentang Adam yang turun ke dunia lalu secara acak menamai segala sesuatu yang ada. Sebagaimana ungkapan Shakespea-re di atas, kisah Adam ini mengandung anggapan implisit bahwa bahasa sekadar daftar nama, sekadar nomenklatur: serangkaian nama (penanda) yang dipilih dan digunakan secara acak untuk menunjuk serangkaian obyek atau konsep (petanda) yang telah ada sebelumnya, terlepas dari bahasa. Dan inilah pengertian tradisional tentang apa itu prinsip manasuka dalam bahasa.
Pengertian tradisional itulah yang juga diandaikan saat orang berkata bahwa konsep “anjing” diungkapkan dengan kata anjing dalam bahasa Indonesia, dog dalam bahasa Inggris, chien dalam bahasa Prancis, dan hund dalam bahasa Jerman. Padahal, seperti yang telah saya kemukakan di atas, pengertian tradisional ini salah kaprah. Dan sejak munculnya Course in General Linguistics (Cours de Linguistique Générale) karya Ferdinand de Saussure, pengertian ini telah ditinggalkan.
Apa yang tidak terkandung dalam pengertian tradisional tentang apa itu prinsip manasuka sebagaimana yang tersirat dalam ungkapan Shakespeare dan kisah tentang Adam tersebut adalah sisi arbitrer yang lain dari bahasa: bukan hanya penanda bahasa yang berubah-ubah sesuai dengan “selera” para pengguna bahasa tertentu, tapi petanda bahasa (atau konsep atau apa yang ditandai) itu sendiri juga bersifat arbitrer. Petanda bahasa juga bersifat arbitrer karena bisa menemukan pengungkapannya dalam penanda-penanda yang berlainan (hal ini bisa dilihat dari kasus sinonim dan homonim dalam bahasa, misalnya). Dengan kata lain, watak arbitrer (tanda) bahasa mengandaikan bahwa baik penanda maupun petanda dalam sebuah sistem bahasa tertentu memiliki otonomi masing-masing: sebuah penanda tertentu tidak dapat diringkus hanya pada petanda (makna/konsep) tertentu, dan petanda (makna/konsep) itu sendiri pengungkapannya tidak bergantung hanya pada penanda atau sebuah unit fonetik tertentu.
Ungkapan Shakespeare dan kisah tentang Adam yang menamai benda-benda tersebut juga masih mengandaikan bahwa bahasa bersifat referensial, yakni maknanya didapatkan karena merujuk pada sesuatu yang ada di dunia (realitas). Padahal, jika kita sepenuhnya memahami watak arbitrer bahasa—yakni bahwa baik penanda maupun petandanya otonom dan, karena itu, sama-sama arbitrer, manasuka—kita akan tahu bahwa makna tanda bahasa muncul bukan karena rujukannya pada realitas, melainkan karena perbedaannya dengan tanda-tanda lain dalam (sistem) bahasa tertentu.
Dengan kata lain, makna tanda bahasa muncul karena ia bersifat diferensial dan relasional: ia memiliki makna karena perbedaan dan hubungannya dengan tanda-tanda lain yang sama-sama ada dalam sistem bahasa tertentu. Contoh hal ini dalam bahasa Indonesia bisa dilihat pada kata teras. Kata ini memiliki makna bukan karena merujuk pada teras tertentu dalam realitas, melainkan karena perbedaan dan hubungannya dengan kata-kata lain yang ada dalam sistem bahasa Indonesia: tebas, tegas, tetas, peras, pegas, keras, dan lain-lain.
Demikianlah, jika memahami secara menyeluruh dan benar apa itu arbitrer dalam bahasa, kita akan sadar bahwa ungkap-an Shakespeare di atas dan kiasan tentang Adam yang menamai sesuka hati apa-apa yang ditemukannya di dunia hanyalah berisi setengah dari pengertian tentang apa itu (watak) arbiter dalam bahasa.
*) Penulis cerita pendek, puisi, dan esai, penerjemah buku
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo