Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diogenes hidup dalam sebuah tong keramik, pithos, karena menolak rumah, dan tampil seperti fakir, karena menampik busana. Hampir tiap hari ia, yang berasal dari Sinope di Laut Hitam, jadi gelandangan di agora. Di pekan itu—tempat orang berjual-beli, bertukar informasi, atau cuma berkenalan—Diogenes dengan kata-kata tajam mencemooh hukum, iman, dan adat-istiadat; ia memprovokasi orang berdebat.
Iskandar—kelak dikenal sebagai Iskandar Agung—pun datang ke Athena. Ia menemui Diogenes.
Ada dua anekdot tentang pertemuan di pagi itu.
Dalam satu cerita, disebutkan Iskandar bertanya: “Apa yang kauinginkan dalam hidup, Diogenes?” Tanpa beranjak dari tempatnya berjemur, yang ditanya hanya berkata, “Minggirlah, jangan berdiri di situ menghalangi sinar matahari.”
Dalam kisah kedua, Iskandar memperkenalkan diri. “Aku Iskandar, raja Makedonia.” Diogenes menyahut, “Aku Diogenes, si anjing.”
Dua anekdot Diogenes itu membuat orang termangu.
Plato menyebut orang ini “Sokrates yang jadi gila”. Seperti Sokrates, Diogenes berfilsafat dengan bertanya-jawab langsung soal-soal hidup; juga seperti Sokrates, ia tak menulis risalah. Tapi, sementara Sokrates mengunggulkan rasionalitas dalam pemikiran, Diogenes berbeda. Sokrates mengajarkan filsafat sebagai disiplin pengetahuan. Diogenes filosofia, cara hidup. Ia mengunggulkan laku, tubuh, pengalaman, yang lekat dengan bumi—dan kita tahu hidup tak selamanya terang tak selamanya pasti. Syahdan, Diogenes berjalan dari tempat ke tempat seraya membawa lentera yang menyala.
“Aku Diogenes, si anjing”: anjing tak pernah hidup di atas—di tingkat rasional, dalam dunia abstraksi, di mana pengetahuan adalah kekuasaan. Di depan Iskandar, Diogenes menunjukkan bahwa ia, seperti dikatakan Peter Sloterdijk, menampik bukan hanya “hasrat untuk kekuasaan”, tapi juga “kekuasaan hasrat itu sendiri”.
Sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuh bagi Diogenes lebih penting ketimbang kunjungan seorang raja. Martabat dan kekuasaan tak ada artinya baginya: ia tak menghasratkan itu, tak ingin apa pun, kecuali kebahagiaan seseorang yang merdeka. Maka ia membebaskan diri dari keinginan. Sikapnya tak peduli, adiaphoria, kepada hasrat hidup teratur dan nyaman. Ia tak terikat nilai baik dan buruk, sopan dan tak sopan, yang dirawat dalam konvensi sosial. Ia tak malu hidup sebagai makhluk alam; mirip anjing. Bagi Diogenes, konvensi itu hanya hasil konsensus mereka yang memegang kekuasaan atau hegemoni—dan sebab itu tak universal dan kekal. Bisa diterabas.
Diogenes kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh pemikiran Sinisme (Inggris: Cynicism, konon dari kata kynikos, “seperti anjing”). Sebagaimana dipujikan Nietzsche—tokohnya di abad modern—Sinisme adalah “jalur terpendek ke kebahagiaan”. Di sana disambut kegembiraan kepada hidup itu sendiri, semata-mata, tak peduli akan segala hal, segala benda. Askesis, disiplin menahan diri, adalah bagian dari itu.
Tapi “hidup itu sendiri” bukannya tanpa kerisauan. Terutama di masa ketika, sebagaimana dikabarkan pada suatu hari, Tuhan sudah mati.
Dalam satu adegan termasyhur yang disajikan Nietzsche, pada suatu pagi yang cerah seorang gila datang ke pekan dan melompat ke tengah kerumunan orang. Ia menatap tajam. “Ke mana Tuhan?” ia berteriak, dan menjawab sendiri. “Dengar! Kita telah membunuhnya.... Semua kita pembunuhnya.”
Tak diceritakan bagaimana Tuhan dibunuh di zaman ini. Orang gila itu hanya menyatakan: jika Tuhan tak ada lagi, ibarat bumi dilepaskan dari ikatannya dengan matahari, tak jelas lagi ke mana gerak kita. Mungkinkah kita semua sebenarnya sedang terlontar jatuh tak henti-henti? Membunuh Tuhan adalah perbuatan besar, tapi tidakkah terlampau besar buat kita?
Suara itu mungkin benar cemas, tapi mungkin cuma mengusik. Si “gila”, der tolle Mensch, bukan si sakit jiwa, tapi si “edan”, si “nyentrik”—personifikasi pandangan Sinisme. Kaum Sinis, yang tak lagi percaya bahwa nilai-nilai punya dasar yang ilahiah dan universal, menerima hidup dalam khaos, ketakpastian, dan konflik yang tak henti-henti.
Tapi, seperti kemudian dipertanyakan Nietzsche: haruskah kita melangkah dengan memakai lentera kaum Sinis?
Nietzsche, yang selamanya cekatan mengungkapkan ironi, membawakan cemas tapi pada saat yang sama juga penyembuhnya. Setelah Tuhan mati, katanya, “Siapa pun yang lahir setelah kita—…akan masuk sebuah sejarah yang lebih luhur ketimbang semua sejarah sebelumnya.”
Itu sejarah manusia yang menciptakan nilai-nilainya sendiri, dengan trauma dan pengharapan kehidupannya.
Tak berarti manusia jadi pengganti Tuhan. Apa pun—ilmu, agama, negara, teknologi, modal—harus dianggap mustahil jadi pengganti Tuhan. Kita dengar pesan Zarathustra dalam karya Nietzsche yang lain: “Tetaplah setia kepada bumi.” Cintailah apa yang ada di bawah itu, nasib dan teka-tekinya. Dengan kesetiaan seekor anjing.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo