Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lin Che Wei
Research Director dari SG Securities
PERTIKAIAN antar-elite politik akhir-akhir ini terbukti sangat mempengaruhi perubahan nilai tukar rupiah. Padahal, idealnya, penulis percaya, indikator-indikator ekonomi seperti rupiah dan indeks saham tidak seharusnya terlalu sensitif terhadap perkembangan politik.
Banyak pihak meminta agar pertarungan elite politik ini dihentikan supaya rupiah menjadi lebih stabil. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Menurut saya, biarkanlah proses demokrasi kita berlanjut dan pasar uang itu belajar untuk lebih peka serta dapat membedakan mana faktor-faktor yang prinsipiil dan mana yang hanya noise. Permintaan menghentikan proses demokrasi untuk kepentingan rupiah ini sama saja dengan pernyataan sebaiknya kita tidak berdemokrasi (berpolitik) karena akan menyebabkan perbedaan pendapat yang kemudian akan terefleksi pada mata uang. Indonesia adalah bangsa yang baru saja belajar proses demokrasi. Dan bagi bangsa yang baru belajar, sering sekali reaksi pasar berlebihan. Anggota partai juga baru belajar proses demokrasi, bahkan presiden kita pun baru belajar untuk mengerti dampak dari pernyataannya terhadap rupiah dan ekonomi. Penilaian sederhana terhadap perubahan rupiah sering sekali menyesatkan. Sebagai contoh, pada 1999, rupiah merupakan salah satu mata uang yang paling menguat relatif terhadap mata uang lainnya. Tapi, pada 2000, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling lemah relatif terhadap mata uang lain di seluruh dunia. Banyak orang mengatakan bahwa kondisi ini berarti pemerintahan Habibie lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur. Saya berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut saya, nilai perkembangan rupiah itu harus dibandingkan dengan ekspektasi dari pelaku pasar itu sendiri. Dalam hal ini, ketika Habibie menjadi presiden, ekspektasi masyarakat internasional dan domestik terhadap pemerintahan Habibie sangatlah rendah, sehingga ketika pemerintahan Habibie berkinerja lebih baik dari ekspektasi, rupiah menguat secara tidak terduga. Sebaliknya, ketika Gus Dur menjadi presiden, harapan dari masyarakat (baca: pasar) sangatlah tinggi dan ketika Gus Dur gagal mewujudkan ekspektasi itu, rupiah menjadi mata uang yang terlemah. Saya memperkirakan proses belajar ini akan terus berlanjut. Dan hal yang akan terjadi:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |