Mas Achmad Santosa *)
*) Peneliti senior Indonesian Center for Environmental Law dan dosen Fakultas Hukum UI
KONSUMEN Indonesia boleh sedikit lega karena tanggal 9 Oktober 2001 lalu gugatan sembilan orang konsumen rumah tangga yang mewakili ribuan konsumen gas tabung elpiji se Jabotabek dikabulkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini bermula dari kenaikan harga gas elpiji secara sepihak oleh Pertamina yang disetujui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Ada dua hal yang menarik dari putusan ini. Pertama, untuk per-tama kalinya prosedur class action diterima dalam sejarah peradilan di Indonesia. Kedua, dihukumnya Dirut Pertamina dan Menteri Energi karena tidak memberikan informasi kepada konsumen tentang rencana kenaikan harga gas elpiji. Akibatnya, tergugat dihukum membayar ganti kerugian pada seluruh konsumen elpiji se-Jabotabek (tabung 12 kilogram). Implikasi dari putusan ini (bila telah berkekuatan tetap), sekitar 200 ribu konsumen elpiji se Jabotabek berhak mendapatkan ganti kerugian Rp 16.000 per bulan terhitung sejak kenaikan harga (3 November 2000) sampai putusan hakim yang berkekuatan tetap.
Putusan ini, walaupun belum berkekuatan tetap, membuktikan bahwa class action dapat digunakan sebagai prosedur hukum untuk memperjuangkan hak konsumen, sebagaimana telah diakui dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan ini sekaligus memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa putusan yang berimplikasi luas terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat (sebagai wujud dari public right to be informed & right to be consulted).
Prosedur gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok kini telah dimanfaatkan oleh masyarakat konsumen produk/barang dan jasa publik, korban pencemaran dan perusakan lingkungan, dan masyarakat "sadar politik". Untuk yang terakhir, class action mulai digunakan untuk menuntut akuntabilitas seorang bupati dan institusi DPRD di Kabupaten Deli Serdang untuk mendorong perwujudan good governance. Gejala menjamurnya class action dapat dilihat sebagai pertanda bahwa kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan haknya mulai meningkat. Class action juga dapat dilihat se-bagai cara masyarakat menuntut akuntabilitas publik dari penyelenggaraan negara.
Konsep class action merupakan konsep beracara di pengadilan yang dianut oleh negara yang memiliki sistem hukum Anglo Saxon pada abad ke-18. Pada intinya, prosedur gugatan ini adalah prosedur beracara (perdata) di pengadilan, yang diajukan oleh satu atau sejumlah kecil orang sebagai wakil kelas mewakili kepentingan wakil kelas tersebut, sekaligus mewakili kepentingan puluhan, bahkan mungkin jutaan orang lainnya yang mengalami kerugian serupa (class members).
Di Indonesia, prosedur ini diakui dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. RUU tentang Hukum Acara Perdata Indonesia juga mencantumkan prosedur class action. Pengakuan prosedur class action dalam hukum positif kita tidak terlepas dari beberapa manfaatnya, yaitu, pertama, proses beperkara yang bersifat ekonomis. Gugatan class action mencegah pengulangan gugatan serupa secara individual. Manfaat ekonomis juga ada pada diri tergugat, sebab tergugat ha-nya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan korban. Kedua, akses pada keadilan. Apabila gugatan diajukan secara individual, hal tersebut mengakibatkan beban bagi calon penggugat yang sering menjadi hambatan untuk memperjuangkan hak seseorang di pengadilan. Ketiga, mendorong perubahan sikap pelaku pelanggaran. Diterapkannya prosedur class action memberikan akses yang lebih luas bagi pencari keadilan untuk mengajukan gugatan secara cost efficiency. Akses class action dengan demikian berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas. Peluang semacam ini yang kita sebut peluang untuk menumbuhkan "efek jera/kapok" (deterrent effect).
Melihat berbagai peluang tersebut, penggunaan class action, terutama bagi masyarakat korban sebuah kebijakan publik dan bentuk-bentuk perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian massal, perlu terus didorong. Masalahnya sekarang, pemahaman class action di kalangan praktisi hukum dan hakim masih sangat terbatas. Berbagai putusan pengadilan di berbagai daerah membuktikan bahwa pemahaman tentang class action sangat beragam, dan pada umumnya menunjukkan kesan kebingungan dalam menerapkan prosedur ini.
Ada beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, penggunaan class action hendaknya tidak dibatasi pada kasus lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kehutanan, akan tetapi semua perbuatan melawan hukum lainnya yang berpotensi menimbulkan kerugian massal, seperti pelanggaran hak sipil politik, hak sosial, ekonomi dan budaya, pasar modal, dan pelayanan jasa publik. Konsekuensinya, prosedur class action harus diatur dalam hukum acara perdata umum. Kedua, walaupun sikap proaktif dan inovatif hakim perlu didorong, agar penerapan class action lebih berkualitas, perlu Peraturan Mahkamah Agung RI yang memberikan pedoman terperinci mengenai penerapan class action. Ketiga, Indonesia perlu mempelajari kelemahan dan kelebihan class action di berbagai negara dan diadaptasi dengan kondisi Indonesia, sehingga sistem class action Indonesia merupakan sistem yang solid dan kontekstual.
Yang keempat, bagi praktisi hukum yang berorientasi "nonprofit", jangan mengabaikan prinsip profesionalisme hukum dalam pengertian hindari penggunaan class action untuk sekadar "ramai-ramai". Gugatan yang diajukan secara amatiran akan berdampak buruk bagi perkembangan class action. Kelima, mengingat praktek penerapan class action selama ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama dana untuk membuat pengumuman (notifikasi) di media masa, bagi masyarakat korban yang tidak mampu, perlu dipikirkan bantuan negara/pemerintah untuk mereka. Hal ini telah dipraktekkan dalam sistem beracara di Ontario, Kanada, sebagaimana diatur dalam The Class Proceeding Funding Act, 1992. Keenam, penerapan class action akan dipengaruhi juga oleh peradilan yang bebas, mandiri, dan profesional, termasuk kualitas dan integritas hakim. Yang terakhir, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dituntut berkerja cepat untuk mendorong ke arah pertumbuhan prosedur class action secara lebih profesional, dengan mempertimbangkan enam faktor di atas dalam upaya mewujudkan akses pada keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini