Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masa Tersuram Pemberantasan Korupsi

Tidak salah rasanya jika masyarakat tiba pada satu kesimpulan bahwa negara memang selalu memilih absen dalam isu pemberantasan korupsi.

30 Desember 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Poster bertuliskan "KPK Harus Mati" (koruptor) terlihat di depan Gedung Merah Putih KPK sebagai aksi untuk memprotes revisi UU KPK, di Jakarta, Senin, 9 September 2019. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak salah rasanya jika masyarakat tiba pada satu kesimpulan bahwa negara memang selalu memilih absen dalam isu pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, sepanjang 2019, Presiden Joko Widodo alias Jokowi terlihat sangat menikmati duet bersama Dewan Perwakilan Rakyat untuk meluluhlantakkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, di sisi lain, tetap saja Presiden berbohong dengan mengatakan masa depan pemberantasan korupsi akan tetap cerah pada waktu mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potret kelam bagi pemberantasan korupsi dimulai ketika Jokowi membentuk Panitia Seleksi Pemimpin KPK yang memiliki segudang persoalan, dari anggota yang diduga kuat memiliki kedekatan dengan kepolisian, proses seleksi yang mengabaikan aspek integritas, hingga tahap menutup telinga dari masukan masyarakat terkait dengan rekam jejak calon pemimpin KPK. Kenyataannya, KPK kini dipimpin oleh lima pemimpin paling buruk sepanjang sejarah lembaga antirasuah tersebut.

Belum selesai di situ, publik pun dihadapkan kembali pada persoalan revisi Undang-Undang KPK. Pada titik ini terlihat sekali bahwa Presiden dan DPR memang ingin meniadakan KPK. Proses pembahasan sampai pengesahan revisi dikebut secepat mungkin tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Kekonyolan lain terlihat ketika KPK bahkan tidak pernah diajak untuk membicarakan rencana busuk tersebut. Narasi penguatan KPK yang kerap diucapkan oleh Presiden dan DPR pun patut ditertawakan bersama karena hanya omong kosong.

Kemudian, sesaat setelah undang-undang berlaku, Presiden sempat mengutarakan niat untuk menerbitkan peraturan pemerintah penyelamatan KPK. Namun hal itu ternyata hanya drama usang karena faktanya Presiden sendiri yang menginginkan pengesahan undang-undang itu. Belum sampai tiga bulan setelah pengesahan undang-undang tersebut, setidaknya sudah ada enam permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Presiden dan DPR malu karena produk hukum tersebut dipandang cacat, baik secara formal maupun materiil.

Poin krusial lain terkait dengan KPK adalah ketika Presiden dan DPR mengabaikan aksi besar-besaran pada September lalu dengan tagar #ReformasiDikorupsi. Jangan lupa bahwa dua di antara tujuh tuntutan aksi itu berkaitan dengan pemberantasan korupsi, yakni menolak pemimpin KPK bermasalah dan membatalkan pengesahan Undang-Undang KPK. Namun aksi yang telah memakan korban itu hanya dianggap angin lalu oleh Presiden dan DPR.

Kekonyolan lakon Presiden pun kembali diperlihatkan kepada publik saat memilih anggota Dewan Pengawas KPK. Pihak Istana berdalih bahwa lima orang yang ditunjuk oleh Presiden merupakan figur yang berintegritas, sehingga Undang-Undang KPK baru menjadi tidak relevan lagi diperdebatkan. Tentu narasi ini amat sangat menyesatkan. Sebab, siapa pun yang ditunjuk oleh Presiden tidak akan mengubah keadaan bahwa KPK sudah "mati suri". Perihal izin berlapis melalui Dewan Pengawas tidak bisa dimungkiri akan memperlambat kinerja lembaga antirasuah itu.

Presiden kembali menuai kritik tajam ketika memberikan grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun dengan dalih faktor usia dan kesehatan. Bagaimana mungkin seorang terpidana hanya karena faktor usia dan kesehatan langsung mendapat pengurangan hukuman? Bukankah yang harus dilakukan oleh negara adalah memberikan fasilitas kesehatan mumpuni di lembaga pemasyarakatan agar yang bersangkutan bisa pulih kembali? Jadi, memang saat ini publik harus bersabar karena memiliki Presiden yang tidak memahami bagaimana menciptakan efek jera bagi pelaku korupsi.

Utang Presiden untuk menuntaskan teror yang menimpa Novel Baswedan pun layak ditagih bersama. Bayangkan, sebuah negara besar yang katanya memiliki institusi penegak hukum yang kuat terkesan tak berdaya mengungkap teror itu. Tanggal 6 Januari 2020 adalah hari ke-1.000 pasca-penyiraman air keras kepada Novel. Presiden pun terlihat membiarkan perkara ini berlarut-larut dengan masih mengandalkan institusi kepolisian untuk bisa membuat terang kejadian ini.

Bukan hanya Presiden dan DPR, Mahkamah Agung pun berkontribusi dalam menciptakan iklim suram bagi pemberantasan korupsi. Sebut saja dua putusan kontroversial yang dihasilkan sepanjang tahun ini, yakni vonis lepas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dan bebasnya mantan Direktur PLN, Sofyan Basir. Putusan ini justru meruntuhkan kerja keras KPK dalam mengungkap skandal korupsi tersebut.

Selain dua kasus di atas, sepanjang Desember ini MA diketahui memberi pengampunan terhadap dua terdakwa korupsi, yakni Idrus Marham dan Lucas, pada tingkat kasasi. Untuk putusan peninjauan kembali, ICW mencatat sepanjang tahun ini setidaknya ada enam putusan yang meringankan narapidana korupsi, dari Irman Gusman dan Choel Mallarangeng hingga Patrialis Akbar. Bahkan 23 pelaku korupsi kini mencoba peruntungan melalui peninjauan kembali.

Bagaimana dengan janji Jokowi saat kampanye pemilihan presiden mengenai keberpihakannya pada pemberantasan korupsi? Sudahkah hal itu dilaksanakan dengan baik atau bualan belaka? Akhir kata, selamat datang di masa paling suram pemberantasan korupsi.

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus