Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara kerja Kartu Pra-Kerja yang diluncurkan pemerintah lebih mirip kartu belanja dengan ketentuan sebagian dananya harus dibelanjakan untuk produk-produk berupa video dan materi yang disediakan oleh semua start-up pelatihan yang ditunjuk. Setelah itu, baru pemilik kartu memperoleh insentif. Dengan kata lain, pemerintah ibarat membangun "mal online" khusus untuk pelatihan, dan semua start-up yang digandeng adalah para pedagangnya (merchant). Kartu tersebut menjadi tak terlalu berbeda dengan kartu belanja di toko swalayan, misalnya, meski konteksnya berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kartu belanja biasa, pembeli mendapat diskon ketika berbelanja di gerai tertentu dan harga barang setelah pemotongan akan didebit dari akun perbankan pembeli. Dalam Kartu Pra-Kerja, saldo dikasih oleh pemerintah dengan dana atas nama pelatihan yang hanya boleh dipakai di "mal online" tadi untuk membayar video dan bentuk materi lain yang diklaim akan memberikan berbagai macam keterampilan.
Namun materi-materi yang ditawarkan di sana umumnya banyak tersedia di Internet atau platform YouTube dan gratis pula. Jadi, saldo Kartu Pra-Kerja untuk membeli materi pelatihan senilai Rp 1 juta per orang sebenarnya kurang pas bagi calon pencari kerja. Metode tersebut lebih tepat diterapkan pada anak-anak sekolah yang menerapkan belajar di rumah.
Pertama, ada pendangkalan makna keterampilan dan keahlian pada kebijakan ini, yang hanya sebatas menonton video dan membaca materi. Berbeda kasusnya dengan bimbingan belajar online, misalnya, yang memang ditargetkan untuk menghadapi ujian tertulis para siswa. Keterampilan dan keahlian, sebagaimana dimaksudkan pemerintah untuk pemegang Kartu Pra-Kerja, sejatinya lebih dominan unsur pengalaman alias praktik dan pembuktian langsung.
Mengapa seseorang dikatakan "jago" atau memiliki kemampuan di suatu bidang? Itu karena ia berpengalaman atau berkali-kali mempraktikkan hal tersebut, bukan hanya karena dia sejak pagi hingga malam menonton berbagai video terkait dengan bidang itu. Maka, balai latihan kerja dan lembaga-lembaga pelatihan, yang memberikan ilmu sekaligus mempraktikkan ilmu tersebut dengan calon tenaga kerja, adalah garda terdepan dan terbaik dalam membentuk calon tenaga kerja. Menonton dan mendapatkan materi-materi dari semua start-up yang terlibat, sekalipun disertifikasi secara online, bukanlah solusi untuk mengubah para calon tenaga kerja baru menjadi tenaga kerja siap pakai.
Kedua, para pencari kerja, atau sebut saja penganggur, adalah angkatan kerja yang belum produktif alias belum berpendapatan. Artinya, segmen ini belum mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Ini adalah asumsi saat kondisi normal, sebelum ada tekanan ekonomi dari wabah virus corona atau Covid-19. Dengan kata lain, tekanan ekonomi akibat wabah corona akan semakin mempersulit kondisi mereka. Kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan atau berusaha akan mengecil karena situasi ekonomi sedang memburuk.
Lalu tiba-tiba pemerintah memberikan kartu yang saldonya bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tapi justru untuk membeli konten-konten yang sebenarnya bisa mereka cari sendiri di Google atau YouTube. Bukankah ini akan membuat sakit hati? Ada saldo dan perut lapar, tapi tak bisa untuk membeli beras dan lauk. Memang ada insentif Rp 600 ribu per bulan untuk beberapa bulan dalam program ini, tapi diberikan melalui platform teknologi finansial yang terlibat. Selain itu, dana tersebut baru bisa didapatkan setelah membelanjakan dana Rp 1 juta untuk video dan materi pelatihan yang disediakan start-up yang terlibat.
Pendeknya, Kartu Pra-Kerja adalah nama lain dari "proyek membeli produk" start-up yang berkolaborasi dengan banyak lembaga pelatihan seharga Rp 1 juta atas nama 5,6 juta pencari kerja atau total senilai Rp 5,6 triliun, tanpa tender pula, pada saat lapangan kerja menipis dan badai pemutusan hubungan kerja menghantui. Hasilnya, dana yang semestinya bisa digunakan untuk makan dan menyambung hidup 5,6 juta orang dari angkatan kerja yang belum bekerja itu berpindah begitu saja lebih dulu ke saku start-up dan lembaga pelatihan, lalu baru pencari kerja bisa mendapatkan insentif lainnya. Kalau tidak, tahun depan nama para pencari kerja itu akan dicoret.
Ketiga, dana yang dikeluarkan nyaris tidak ada velocity-nya, tidak produktif untuk produk domestik bruto (PDB) nasional karena tak benar-benar masuk ke sektor riil, tak menghasilkan produk atau komoditas apa apa pun secara riil, yang melibatkan banyak tenaga kerja baru. Hal ini berbeda dengan membeli beras 1 kilogram untuk satu orang, misalnya. Kalau 5,6 juta orang membeli beras, akan ada 5,6 juta kilogram beras yang terserap.
Bayangkan berapa besar dampak bergandanya. Orang membeli beras ke pedagang yang membelinya dari grosir beras. Grosir beras pun mengambilnya dari pedagang yang membeli langsung ke petani. Kemudian petani membayarkan sebagian pendapatannya untuk membeli kebutuhan hidup, sebagian lagi untuk membeli benih dan pupuk ke koperasi. Dari koperasi, uangnya bisa masuk ke bank lagi atau dipinjamkan lagi ke anggota koperasi dan terus berputar lagi. Setiap titik transaksi tersebut akan dihitung sebagai PDB. Maka, membeli beras akan membantu jauh lebih banyak pihak dibandingkan dengan membayar konten-konten pelatihan yang kurang kontekstual untuk kebutuhan keadaan saat ini.