Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Medrilzam
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan pembuangan langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA), yang menyebabkan masa pakai TPA menjadi lebih singkat dari rencananya. Hal itu juga menyebabkan kenaikan tingkat pencemaran lingkungan air, udara, tanah, dan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan pemerintah Jerman untuk menangani masalah sampah. Program Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah, bagian dari Prakarsa Iklim dan Teknologi Jerman (DKTI), itu dijalankan di Kota Cirebon, Malang, Bukittinggi, Jambi, dan Denpasar, serta Kabupaten Bogor.
Pengkajian mereka menemukan bahwa rata-rata 72 persen sampah berakhir di TPA dan 17 persen bocor ke lingkungan. Salah satu TPA akan segera penuh dan harus ditutup tahun ini. Adapun TPA di lima kota/kabupaten lainnya diperkirakan menghadapi hal yang sama dalam 2-4 tahun ke depan bila tidak tersedia lahan untuk perluasan TPA. Sementara itu, tingkat daur ulang sampah hanya mencapai 11 persen—angka yang jauh dari kebutuhan ideal untuk mengurangi sampah ke TPA.
Timbunan sampah di TPA menggunung karena peningkatan laju timbulan dan perubahan komposisi sampah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup, dan pola konsumsi masyarakat. Kajian di enam kota/kabupaten tadi menunjukkan bahwa laju timbulan sampah pada akhir 2021 sebesar 0,5-1,2 kilogram per orang per hari dengan rata-rata mencapai 0,8 kilogram per orang per hari. Jumlah ini hampir menyusul kota metropolitan di Jepang dengan timbulan sampah sebesar 0,92 kilogram per orang per hari dan Singapura dengan 1,2 kilogram per orang per hari.
Di sisi lain, budaya konsumsi yang serba cepat dan instan juga mendorong kenaikan komposisi sampah plastik. Pengkajian tadi menemukan komposisi timbulan sampah dominan di enam kota/kabupaten itu terdiri atas sampah makanan (48 persen), sampah plastik (16 persen), dan sampah taman (13 persen). Adapun data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan timbulan sampah plastik terus naik, dari 11 persen pada 2010 menjadi 17 persen pada 2021.
Pelaksanaan sistem pengelolaan sampah saat ini masih didominasi pembangunan fisik tanpa disertai tata kelola yang mumpuni. Padahal, secara teknis, sistem pengelolaan sampah yang bergantung pada ketersediaan lahan tidak bisa menjadi opsi lagi. Keterbatasan lahan menjadikan TPA obyek vital yang perlu “dilestarikan” dengan hanya menampung sesedikit mungkin sampah residu dan memanfaatkan kembali semaksimal mungkin sampah yang bisa didaur ulang.
Sayangnya, tidak ada formula kerangka kerja kelembagaan yang jelas antara pemerintah dan sektor informal, masyarakat, serta swasta. Masing-masing bergerak sendiri tanpa upaya saling menguatkan fungsi dan perannya. Dengan prinsip mendorong sinergi antara pelayanan pengelolaan sampah dan pemulihan nilai sampah, pendekatan kolaborasi di antara semua pihak diyakini menjadi kunci untuk pelembagaan pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi.
Alokasi anggaran pengelolaan sampah saat ini rata-rata hanya 0,5 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta rata-rata tidak cukup untuk menutup biaya pengelolaan sampah secara optimal. Sementara itu, retribusi persampahan juga belum bisa diandalkan untuk menutupi biaya operasional sistem pengelolaan sampah yang baik.
Tarif retribusi pengelolaan sampah di kota/kabupaten saat ini belum diperhitungkan sesuai dengan kaidah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penghitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah. Padahal, dengan peraturan itu, pemerintah sudah dapat memperhitungkan biaya penanganan sampah dan tarif retribusi yang ideal.
Perubahan mendasar dan gebrakan inovasi dalam pengelolaan sampah yang mencakup semua aspek pengelolaan sampah, seperti aspek kelembagaan, pendanaan, hukum, teknis, dan partisipasi masyarakat, harus segera diupayakan bersama oleh semua pemangku kepentingan. Strategi reformasi ini tentunya perlu didukung penguatan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Ada enam hal yang dapat menjadi pengungkit dalam pengelolaan sampah, yaitu peningkatan kualitas perencanaan, partisipasi pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas, fleksibilitas kelembagaan, binding mechanism, dan pendanaan. Pada akhirnya, kita semua selaku pemangku kepentingan perlu turut serta bertindak dan mengawal reformasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dari rumah sampai ke TPA.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo