Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hari ini saja Vladimir Putin dan pemerintahan Rusia bersikap paranoid terhadap Barat dengan tetap menumpuk pasukan di perbatasan Rusia-Ukraina sebagai antisipasi atas kemungkinan semakin agresifnya NATO di kawasan Eropa Selatan. Meski demikian, tidak selamanya sikap seperti itu murni berasal dari Moskow. Karena jika ditilik secara detail dan secara historis, sikap pemerintahan Putin rerata adalah reaksi atas sikap dunia barat terhadap Moskow yang cenderung sangat tidak bersahabat sejak Uni Soviet bubar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaya yang sama sudah ada sejak diplomasi The Big Three yang berlangsung di era Perang Dunia Kedua, antara Winston Churchill, Yoseph Stalin atau Uncle Joe, dan Franklin D. Roosevelt (FDR). Tapi FDR sebagai Presiden Amerika Serikat di masa itu mendekati Stalin dengan gaya yang sangat bersahabat, sehingga komunikasi personal antara keduanya berlangsung mulus. Walau hanya bertemu langsung sebanyak dua kali, di Teheran tahun 1944 dan di Yalta tahun 1945, korespondensi antara FDR dan Stalin lebih dari 200 surat sepanjang tahun 1941-1945. Melalui surat menyurat, kedua tokoh besar tersebut berhasil menyepakati banyak hal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sama seperti hari ini, di antara The Big Three (FDR, Churchill dan Stalin), dialog serius terjadi pada topik perbatasan, terutama Polandia (hari ini Ukraina), yang akhirnya memang diduduki oleh Soviet. Stalin secara de facto memang menginginkan Polandia berada di bawah pengaruh Soviet karena menurut Stalin, secara historis Rusia dua kali diinvasi dan dua kali pula via Polandia.
Di sisi lain, FDR dan Churchill menginginkan Polandia berada di bawah pengaruh Barat karena Polandia adalah alasan awal mengapa Inggris dan Perancis menyatakan perang terhadap Adolf Hitler. Tapi FDR melakukan pendekatan yang lebih komunikatif kepada Stalin dengan menawarkan opsi bahwa penentuan siapa yang akan berkuasa di Polandia harus melalui pemilihan. Dan secara diplomatis Stalin setuju, walaupun akhirnya FDR tidak ditakdirkan untuk mengawalnya karena keburu meninggal pada April 1945.
Stalin memperjelas sikap geopolitiknya dengan memaksakan Jerman sebagai buffer zone (iron curtail) bukanlah karena agresifitas Moskow, tapi justru karena sikap permusuhan yang diperlihatkan Churchill dan Harry S. Truman pasca perang dunia kedua. Ketika Churchill diajak ke Missouri, daerah kelahiran Truman, di bulan April 1946, Churchil menyisipkan pesan permusuhan di dalam pidatonya. Katanya, setelah Hitler dikalahkan, kini hantu diktator baru sudah mulai menggerayangi Eropa, yaitu Stalin.
Bermula dari pidato itu, yang kemudian berlanjut dengan gaya diplomasi Truman yang sangat berbeda dengan FDR (Truman bersikap sangat kasar kepada Fyacheslav Molotov di Gedung Putih—Fyacheslav Molotov adalah nama Menteri Luar Negeri Uni Soviet di masa itu), Stalin kemudian terpaksa harus mengambil jalan lain di luar kesepakatannya dengan FDR. Stalin menambah pasukannya di Berlin, yang menjadi penanda awal berlangsungnya perang dingin.
Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet juga berlangsung di bidang ekonomi. Amerika Serikat menawarkan bantuan ke Turki dan Yunani yang dikenal sebagai Doktrin Truman. Bantuan ini meluas ke negara-negara di Eropa Barat hingga Asia dan dikenal dengan Rencana Marshall. Sebagai tandingannya, Uni Soviet membuat Molotov Plan atau Rencana Molotov. Rencana Molotov adalah bantuan yang diberikan Uni Soviet untuk negara-negara Eropa Timur yang terdampak Perang Dunia II.
Hal yang sama sebenarnya sempat terjadi di masa awal pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin. Di masa awal Putin menjabat dan di akhir masa jabatan Clinton, Putin bahkan menyatakan secara terang-terangan keinginan bergabung dengan NATO. Tapi permintaan tersebut bukan yang pertama. Hal yang sama sebelumnya pernah dikemukakan oleh Mikhail Gorbachev, Presiden Uni Soviet sekira 40 tahunan lalu.
Tapi apa lacur, bahkan sebelumnya, tepatnya di masa akhir jabatan Boris Yeltsin sebagai pemimpin tertinggi negeri Beruang Merah, NATO bahkan terus “mempermalukan Rusia atau merendahkan Rusia”, meminjam istilah Yeltsin. Pernyataan tersebut mengacu kepada kebijakan “enlargement” yang dilakukan oleh NATO dengan menerima tiga negara Baltik dan negara-negara Eropa Selatan (Polandia dan Hungaria) sebagai anggota baru NATO.
Meski begitu, Putin masih berusaha untuk melakukan pendekatan yang sama dan dengan santai mengatakan ingin bergabung dengan NATO. Tapi apa lacur, meskipun Clinton terbilang agak toleran dengan permintaan tersebut, anggota NATO lainnya justru berbalik bersikap paranoid dengan menuduh bahwa Rusia berniat melakukan destabilisasi di dalam tubuh NATO. Sikap-sikap dunia Barat yang semacam itu, disadari atau tidak, kemudian menjadi bibit-bibit yang mewarnai sikap Putin terhadap Barat hingga hari ini.
Pertanyaan sederhananya adalah mengapa Yeltsin (Presiden Rusia 1991-1999) menyerahkan kekuasaan kepresidenan Rusia begitu saja kepada Putin, yang belum terlalu dikenal oleh dunia Barat kala itu? Bukan hanya soal menitipkan para Oligar setelah Putin terbukti berhasil menyelamatkan Anatoly Sobchak di St. Petersburg, tapi juga karena Boris Yeltsin merasa Rusia telah dipermalukan oleh Amerika dan NATO, sehingga Rusia sebagai negara membutuhkan sosok pemimpin yang pantas untuk “stand up”. Anehnya Amerika Serikat gagal melakukan instrospeksi dan dengan santainya tetap menganggap bahwa Yeltsin adalah kawan.
Ketika NATO melakukan politik “enlargement” setelah Soviet Union bubar, lalu menarik tiga negara awal dari pecahan Soviet untuk bergabung dengan NATO, kemudian mengakui Kosovo, Yeltsin pun berang. Yeltsin merasa bahwa ia telah berusaha untuk menaruh kepercayaan kepada Amerika, bersedia “hand in hand” dalam menciptakan dunia tanpa perang. Memang Presiden Amerika Serikat Bill Clinton menyambut dengan baik, tapi di sisi lain menoleransi NATO untuk melakukan “enlargement” di satu sisi dan terus agresif di Serbia di sisi lain, hal itulah yang membuat Yeltsin merasa bahwa ia harus mewariskan kekuasaannya kepada sosok yang pantas untuk menghadapi situasi pelik itu.
“We're not Haiti. We're a big country with great history. We can not be humiliated like this,” kata Yeltsin, sekitar tahun 1998, dengan lantang. Dan setahun setelah itu, Yeltsin menyerahkan kekuasaan Perdana Menteri kepada Putin yang sempat menjadi kepala FSB (badan telik sandi Rusia), kemudian setahun setelahnya menyerahkan jabatan presiden, lalu setahun selanjutnya Putin pun terpilih dalam pemilihan resmi.
Clinton adalah orang pertama yang mendengar langsung dari Putin soal keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Kala itu, menurut jurnalis senior Vladimir Pozner, Clinton mereaksi dengan baik. “I think, I have no objection,” kata Clinton. Tapi para staf senior di NATO canggung dan dari sikap-sikap mereka, NATO secara tidak langsung menolak. Putin pun mulai merasa dipermalukan.
Di saat Bush Yunior menarik diri dari Ballistic Missile Treaty, Putin mulai curiga bahwa Amerika Serikat akan terus memperkuat NATO di bekas negara-negara Uni Soviet. Kecurigaan Putin terbukti, di pertemuan NATO pada tahun 2008, NATO dan Amerika menyatakan bahwa Ukraina dan Georgia sedang bersiap-siap bergabung dengan NATO. Putin meradang. Maka Rusia memulai taktik destabilisasinya. Rusia kemudian secara terbuka menyatakan mendukung separatisme Southern Akbazia dan Ossetia di Georgia.
Setelah pemilihan umum Georgia yang mendudukkan calon presiden pro barat, plus reaksi atas orange revolution, kesabaran Putin sudah sampai ke ubun-ubun. Moskow mengirim pasukannya ke Georgia dan menduduki ibukotanya. Tak mau berlarut-larut, Washington kemudian mengirim Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice via “back channel” ke Moscow untuk negosiasi. Akhirnya Putin “back off”, dengan catatan Georgia tidak masuk NATO.
Lalu di era Obama, Amerika dan Uni Eropa (EU) juga membuat ulah. EU terobsesi melakukan “enlargement”. Titik krusialnya mentok di Ukraina saat Madan Revolution tahun 2014. Keterlibatan EU dan Amerika sangat jelas. Ada Victoria Nuland di barisan demostran, Undersecretary of State untuk EU dan Eurosia. Ada “leak/bocoran” rekaman pembicaraan Nuland dengan petinggi EU tentang keharusan Ukraina masuk EU. Ada senator McCain yang mendukung Ukraina bergabung ke EU.
Demonstrasi besar-besaran di Kiev dan beberapa kota di Ukraina memaksa Viktor Yanukhovit terbang ke Moscow. Tak pelak, Putin langsung dibuat panas. Moskow langsung menginvasi Crimea dan memberikan dukungan kepada separatisme di Southern Ukriane, Dombas. Putin mengirim apa yang disebut pengamat barat dengan “little green army”, tentara bayaran berbaju hijau tapi tak beridentitas negara di kedua daerah tersebut, yang memang berpenduduk mayoritas Rusia.
Bagi Putin, Ukraine adalah bukti nyata keterlibatan barat dalam mengobrak-abrik negara-negara yang dekat dengan Moskow atau backyard Moskow. Ada rekaman video Victoria Nuland, yang ketika itu Assistant Secretary Hillary Clinton untuk EU dan Eurosia, di jalanan Kiev saat terjadi demo besar-besaran. Seiring dengan itu, Hillary Clinton pun terus memberikan narasi kebencian yang mengarah kepada Putin, dikatakan bahkan mantan KGB itu tak pernah tulus, bahkan mirip Hitler dan sejenisnya.
Lalu beberapa kali diikuti dengan demo besar-besaran di Moskow, yang terus memaksa Putin untuk mencurigai keterlibatan Hillary. Dikatakan dalam beberapa analisa, keterlibatan Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 tidak dimaksudkan untuk memenangkan Donald Trump. Putin tak terlalu pusing soal urusan Trump atau Hillary yang menang. Jika pun benar-benar terlibat, Putin nampaknya hanya ingin memberi pelajaran pada Hillary saja.
Sebagaimana ditulis oleh salah seorang penulis biografi Putin, syarat untuk berhubungan baik dengan Putin sangatlah sederhana, “Just dont push him to the corner”. Jangan pojokkan dia. Itu bukan hanya interpretasi, tapi memang bagian dari filosofi Putin. Putin pernah menyinggung sikap itu secara gamblang dalam sebuah wawancara, katanya (1) kalau orang sudah dipojokkan terlalu mepet ke jurang, dia akan melompat. Dan dalam wawancara lainnya, Putin mengatakan bahwa (2) yang paling tidak bisa termaafkan oleh Putin adalah pengkhianat. Dan itulah yang dipahami oleh Donald Trump dengan baik.
Pembelaan Trump atas Putin sudah bukan rahasia lagi. Di akhir 2017 jelang 2018, Departement of Defense dan Pentagon hampir sepakat untuk mengirim senjata antitank “Javelin” ke Ukraina. Laporan masuk ke Rex Tillerson, yang menjabat sebagai Secretary of State kala itu. Tillerson lalu pergi ke ruangan Presiden Trump, menyampaikan laporan tersebut dan menawarkan kepada Trump opsi untuk mengirim Javelin ke Ukraina. Trump secara reaktif menjawab:
“Are you out of your fucking mind? Why are we giving them anything?”
Jawaban itu dengan jelas bermakna bahwa jika Javelin dijual ke Ukraina, maka Putin akan benar-benar tersinggung, dan Trump menghindari itu. Itulah seteru awal Menteri luar negeri Rex Tillerson dan Presiden Trump, yang membuat Rex Tillerson harus melepaskan jabatannya kemudian.
Jadi kembali pada isu Ukraina. Bagi Putin, Ukraina adalah buffer zone alias Iron Curtail baru. Jika Rusia tidak bisa menguasainya, maka Barat pun tidak semestinya menguasainya. Artinya, di mata Putin, Ukraina harus menjadi negara yang terbebas dari pengaruh Rusia dan EU atau NATO. Masalahnya, EU dan NATO masih sangat berambisi untuk menjadikan Ukraina sebagai anggota pakta pertahanan tersebut, yang menjadi sebab mengapa Barat dan Moskow sulit untuk berunding.
Namun Biden semestinya belajar dari pendekatan Franklin D. Roosevelt bahwa memusuhi Moskow secara terbuka bukanlah solusi yang tepat. Washington harus meningkatkan intensitas komunikasi dengan Moskow dengan berbagai channel yang ada. Biden dan Putin semestinya bisa menemukan solusi yang tepat untuk Ukraina agar negara ini tidak menjadi sumber konflik baru di satu sisi tapi juga tidak dikorbankan seperti Jerman pasca perang dunia kedua di sisi lain.
Yang diinginkan oleh Putin sangatlah sederhana, yakni agar Ukraina tidak menjadi anggota baru EU dan NATO. Artinya, dengan membiarkan Ukraina berada di posisi netral, maka NATO tidak punya alasan untuk menambah pasukan dan memperlebar ambisi geopolitiknya. Namun jika EU dan NATO gagal memahami ini, maka secara militer akan sangat sulit bagi Rusia untuk mengurangi tumpukan pasukannya di perbatasan. Dan secara ekonomi, Putin punya alasan tambahan untuk memainkan energi sebagai senjata untuk menghukum kawasan Eropa.