Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Melawat ke balkan

Negara balkan mengalami ekonomi mundur akibat masa peralihan dari sistem sosialis sentralistis ke ekonomi pasar. kebijaksanaan makro-ekonomi yang mementingkan stabilitas seperti indonesia menguntungkan.

27 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sebuah kisah perjalanan ke Yugoslavia, Yunani, Turki belahan Eropa, Bulgaria, dan Hungaria yang sebetulnya bukan Negara Balkan. Kali ini ikut Balkan-tour 22 hari naik bis 7.000 km. Dalam perjalanan demikian, banyak kesempatan untuk membandingkan dan menarik hikmahnya. Tidak kami temui negara yang bebas dari masalah sosial, politik, maupun ekonomi yang pelik. Suku minoritas Serbia di salah suatu republik Yugoslavia memberontak terhadap penindasan suku bangsa mayoritas. Turki dan Yugoslavia bergulat dengan inflasi yang jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Yunani ada pemogokan umum karyawan perusahaan listrik, pos, telepon, bank, yang sudah berjalan beberapa minggu. Bulgaria bergulat dengan krisis ekonomi yang gawat. Hungaria menganggap liberalisasi sistem politiknya selesai, tetapi reformasi bidang ekonomi masih banyak masalahnya. Semenanjung Balkan selama lima ratus tahun dikuasai oleh sultan-sultan Turki. Pembebasannya baru di abad yang lalu. Maka, seperti Asia Tenggara, keterbelakangannya sebagian disebabkan oleh penjajahan. Selama dan sesudah Perang Dunia I dan II, dialami berbagai intervensi dari Austria, Jerman, Uni Soviet, dan Inggris, yang akhirnya melahirkan negara-negara Balkan sekarang yang beraneka corak itu, dalam kebudayaan, agama, kesukuan, dan sistem politik. "Balkan(isasi)" sering mempunyai konotasi "campur aduk dan terpecah-belah" secara politis dan lain-lain. Walaupun tingkat pendapatan per kapitanya jauh di atas Indonesia, dalam ukuran Eropa, Balkan masih terbelakang. Mengapa? Apakah karena kebudayaan, sejarah politik, atau sistem politik dan ekonomi yang dianut? Tidak ada sebab yang tunggal. Sistem politik berbeda-beda. Bulgaria, Yugo, dan Hungaria setelah Perang Dunia Kedua menjadi sosialis-marxis, tetapi polanya tidak seragam. Yugo di bawah Presiden Tito menjadi pendekar gerakan nonblok, dan ekonomi pasar cukup berlaku. Di pihak lain, Bulgaria paling mengekor Moskow. Hungaria sejak 1970-an berusaha mendemokratisasi sistem politiknya dan sekarang sempat merombak sistem ekonominya (ke arah ekonomi swasta), dengan harapan bahwa pada suatu waktu bisa diterima sebagai anggota masyarakat Eropa. Setelah Gorbachev melonggarkan perkembangan politik di Eropa Timur, di Polandia, Ceko, dan Hungaria, tumbuh organisasi politik tandingan yang terorganisasi, tetapi tidak di Bulgaria. Namun, di Bulgaria pun partai komunis akhirnya berubah bulu menjadi sosialis, lewat reformasi yang berjalan cukup damai. Hari rombongan kami ada di Sofia, lambang bintang merah besar di atap gedung bekas partai komunis diturunkan dengan bantuan helikopter. Anehnya, justru sekarang keadaan ekonominya paling parah, dengan kekurangan daging, gula, minyak goreng, dan banyak sekali barang hasil industri. Seolah-olah orde lamanya lebih baik. Di mana-mana tampak mobil antre bensin yang panjang sekali, dan pemiliknya sering harus menunggu semalam. Harga bensin dalam uang lokal masih murah sekali, tetapi kalau mau bayar dalam dolar (setengah dolar per liter) tidak perlu antre. Bulgaria merupakan contoh dari kesulitan yang dihadapi negara sosialis yang sentralistis kalau mengubah sistemnya menjadi ekonomi pasar. Dalam masa peralihan, ekonomi mundur dan kacau, terutama kalau tidak ada bantuan luar negeri untuk meredam gejolak. Rakyat biasa menderita karena harga-harga sangat meningkat, barang menjadi langka, dan pengangguran terbuka muncul. Semua negara sosialis dan negara Balkan ini juga menanggung beban utang luar negeri yang berat sekali. Yugoslavia, yang sudah lama menjalankan ekonomi pasar, luput dari musibah peralihan seperti di Bulgaria. Tingkat hidupnya tampak jauh lebih baik. Namun, Yugo mempunyai masalah-masalah lain. Utang internasionalnya mencekik lehernya, dan ekonominya mudah terpukul oleh resesi internasional. Tahun lalu mereka mengalami krisis moneter dan inflasi gawat seperti 1965 di Indonesia. Akhirnya diadakan sanering moneter, dan empat nol dicoret dari mata uangnya, dibarengi dengan devaluasi besar. Inflasi sementara berkurang, tetapi Yugo sekarang menjadi negara yang mahal, juga bagi turis. Misalnya, satu liter bensin atau diesel harganya kira-kira satu dolar AS. Di lain pihak, di Bulgaria masih ada tiga atau empat kurs: yang nominal untuk statistik ekspor-impor, suatu kurs resmi efektif, kurs yang lebih baik untuk turis, dan kurs gelap yang sepuluh kali kurs nominal. Bukti bahwa transisi sistem ekonominya masih belum tuntas sama sekali. Bila Yugo dan Hungaria jauh lebih makmur daripada Bulgaria, ekonomi swasta di Yunani dan Turki tampak dinamiknya. Nyata bahwa perbedaan sistem ekonomi sangat berpengaruh. Tapi, mengapa Hungaria (yang sosialis) lebih makmur daripada Turki dan Yunani, mungkin disebabkan oleh perbedaan kultur dan sejarah. Hungaria lebih wajar dibandingkan dengan Austria yang dulu merupakan bagian satu kerajaan. Kalau sekarang Hungaria kalah makmurnya dari Austria, sebabnya terang perbedaan sistem ekonomi dan politik. Bagi Indonesia, perbandingan yang menarik adalah dengan Yugoslavia dan Turki karena kedua negara ini masih dicap "berkembang". Dibandingkan dengan Turki dan Yugo, dalam hal penjagaan stabilitas ekonomi makro, Indonesia menang. Artinya, inflasinya jauh lebih rendah dan mata uangnya lebih konvertibel. Penanaman modal asing lebih banyak di Indonesia. Di satu pihak, ini berarti ketergantungan Indonesia lebih besar. Di pihak lain, perkembangan efisiensi, produktivitas, dan kualitas barang dan jasa tidak kalah. Kompleks kantor, pertokoan, dan perumahan di Yugo sering tampak lebih mengesankan dari jauh, tapi dari dekat, toko-toko (serta isinya) di Kebayoran Baru lebih menarik. Turki lebih wajar dibandingkan dengan Muangthai yang kira-kira sama besar jumlah penduduknya, juga dalam pendapatannya per kapita (US$ 1.200). Tetapi Muangthai jauh lebih baik dalam hal stabilitas ekonomi, laju pertumbuhan, dan besar ekspornya. Mungkin bisa disimpulkan bahwa kebijaksanaan makro-ekonomi yang lebih konservatif, artinya mementingkan stabilitas, lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Apa hikmah perbandingan semua ini? Kalau kita, terutama golongan kelas menengah, mau lebih menghargai keadaan di negerinya sendiri, silakanlah melawat ke negeri orang, seperti negeri sosialis dan negeri di Balkan. Kaum ibu akan lebih kerasan shopping di Blok M. Hotel-hotel di Indonesia sering lebih terawat, lebih bersih. Motivasi untuk kerja, memberikan servis, dan menjaga kualitas lebih terjamin pada perusahaan swasta daripada perusahaan negara maupun perusahaan yang diurus secara kolektif seperti di Yugo. Di sana, WC pun lebih bau! Tetapi yang akhir ini mungkin lambang "negara berkembang".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus