Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

20 Orang Bijak dari Papua

Usul yang konkret untuk "otonomi khusus" sudah dirumuskan oleh cendekiawan Papua. Banyak jalan ke Roma.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


ADA 20 orang bijak dari Papua. Mereka ini tergabung dalam sebuah tim yang dibentuk gubernur dan diketuai oleh Rektor Universitas Cenderawasih untuk merumuskan keinginan rakyat Papua.

Mereka bijak karena bahasa mereka terang, pikiran mereka jernih, darah mereka tak mendidih, dan hati mereka berada di tempat yang benar, yakni bagaimana mengatasi penderitaan rakyat di pulau itu tanpa menggunakan jalan kekerasan. Beberapa usul yang mereka rumuskan untuk menerapkan sistem "otonomi khusus" menunjukkan niat baik itu.

Dari beberapa bagian usul tim ini, misalnya ada bendera khusus Papua dan ada polisi khusus daerah, kelihatannya "ekstrem". Tapi bisa juga tidak. Sebab, setiap provinsi di Indonesia punya bendera sendiri—atau patut punya bendera sendiri—di samping sang Merah Putih. Juga soal polisi: di Jakarta, misalnya, ada pasukan Banpol, tanpa menghilangkan peran dan posisi Kepolisian Republik Indonesia. Tentu saja perlu ditambahkan: mengingat banyaknya kekerasan oleh polisi terhadap penduduk, pengawasan oleh rakyat setempat atas dinas kepolisian mutlak perlu. Ini berlaku buat Papua, dan juga wilayah lain.

Tentang hal-hal lain, pasti ada yang bisa dirundingkan dan ada yang tidak. Dan tentu saja tim ini, atas nama rakyat Papua, harus bersedia berkompromi sebagaimana pemerintah di Jakarta pun harus bersedia untuk tidak ngotot. Seperti semua hasil pikiran manusia, tak ada yang harus mutlak.

Sebagian besar anggota Presidium Dewan Papua dan para tokoh pergerakan di pulau itu menganggap bahwa yang penting adalah "merdeka", dan segala usaha tim ini untuk medapatkan "otonomi khusus" percuma saja. Kata "M" keras terdengar di Papua sekarang. Sebagian orang keras kepala di Jakarta menganggap bahwa usulan tim ini "makar". Kedua pendirian itu sama-sama akan membawa ke jalan buntu.

Satu catatan untuk orang di Papua: penderitaan rakyat Papua (terutama yang bukan pendatang) adalah soal serius. Kemiskinan masih mencekik. Kekerasan terhadap rakyat sering terjadi. Inilah dasar keinginan untuk merdeka. Yang sering tak dilihat ialah bahwa semua itu bukanlah kesalahan "Indonesia" atau suku tertentu. Penyebabnya adalah korupsi yang menjadi-jadi dan tak adanya demokrasi karena situasi "darurat" terus-menerus yang diterapkan Orde Baru. Dan itu tak cuma dialami rakyat di Papua atau Aceh. Itu juga dialami oleh rakyat di Jawa (Orde Baru, misalnya, membunuh lebih banyak orang di Jawa sejak 1965 ketimbang di daerah Indonesia mana pun). Dengan mengingat ini, yang penting bukanlah "M" dan membentuk sebuah negara baru, melainkan adanya demokrasi dan tak adanya korupsi.

Satu catatan untuk pemerintah di Jakarta: banyak jalan ke Roma, jika kita tak hendak menjadi semacam Yugoslavia yang terpecah oleh kekerasan antarsuku dan daerah. Ada jalan antara "merdeka" dan "otonomi khusus". Di Spanyol, misalnya, ada Republik Basque, yang tetap ada sebagai wilayah Spanyol. Kita perlu menelaah variasi seperti ini, dan jangan terjebak dalam slogan "persatuan dan kesatuan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus