Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHWA negeri ini rawan gempa tentu masyarakat luas sudah tahu. Tapi membiasakan diri dengan kenyataan ini—termasuk menyesuaikan segala kebutuhan untuk hidup bersama gempa—rasanya belum dilakukan. Maka, selalu saja gempa dihadapi dengan kepanikan besar dan akibatnya memakan korban begitu besar.
Sudah banyak bukti dan keterangan ahli geologi, gempa bisa melanda daerah mana saja di negeri ini. Akibat gempa Tasikmalaya belum sepenuhnya diatasi, pekan lalu Padang dan Pariaman diamuk lindu dengan kekuatan besar dan korban yang berlipat-lipat jumlahnya. Di antara dua gempa besar itu, gempa kecil sering terjadi di semua daerah, dari barat hingga timur kawasan Indonesia.
Hal itu bisa dijelaskan secara geologis. Indonesia terletak di antara pertemuan tektonik lempeng Eurasia, lempeng Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Oseanik Filipina. Berbagai lempeng itu terus bergerak, bahkan bertumbukan. Gempa Sumatera-Andaman pada 2004, yang diikuti bencana tsunami di Aceh dan pantai-pantai selatan Asia, juga gempa Mentawai-Bengkulu 2007 dan beberapa daerah lain adalah akibat pergerakan lempeng-lempeng itu. Secara teoretis hanya Kalimantan yang relatif aman dari bencana itu.
Dalam kondisi seperti itu, mengurangi (mitigasi) dampak atau korban menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar. Mitigasi bencana itu bisa dilakukan dengan banyak cara. Yang pertama mesti dilakukan adalah membuat peta geologis untuk daerah-daerah rawan bencana. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan cara yang bijak, agar tidak memicu kepanikan di masyarakat. Peta geologis ini harus detail, misalnya lengkap dengan jalur evakuasi atau penyelamatan.
Sosialisasi yang juga penting disebarluaskan adalah tentang cara menyelamatkan diri dari berbagai jenis bencana: gunung meletus, gempa bumi, sampai tsunami. Pencegahan kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih besar juga perlu dilakukan di level pencegahan. Misalnya, izin mendirikan bangunan sudah harus memasukkan unsur keselamatan bangunan dari bencana gempa sebagai salah satu syarat. Gedung tinggi serta fasilitas umum dan sosial perlu dikenai syarat ini. Dari Padang kita bisa belajar: banyak korban tewas di tempat umum seperti rumah sakit dan sekolah.
Setelah gempa Aceh, sosialisasi bahaya bencana sudah makin banyak dilakukan, tapi ternyata belumlah memadai. Dampak pembelajaran belum terasa. Sosialisasi selama ini banyak diarahkan untuk menghadapi bencana tsunami dan juga lebih sering dilakukan di Sumatera. Ketika Tasikmalaya digempur gempa, masyarakat Jawa Barat dan Jakarta dilanda kepanikan. Mereka tak memahami benar cara melakukan penyelamatan. Disarankan penyelamatan gempa masuk ke kurikulum di sekolah, seperti yang dilakukan negeri langganan gempa seperti Jepang.
Pembenahan perlu dilakukan dalam tahap tanggap darurat, ketika gempa baru terjadi. Indonesia memerlukan lebih banyak sukarelawan dengan keterampilan tinggi, misalnya untuk menyelamatkan korban di bawah reruntuhan gedung. Kita perlu belajar mengenai prosedur yang benar, diikuti langkah standar yang tepat, dilakukan oleh tenaga terlatih, dengan peralatan penyelamatan yang modern. Dalam setiap kejadian, tim penyelamat perlu secepatnya mengerahkan ekskavator dan mesin hidrolik. Bahkan diperlukan pula anjing pelacak yang terlatih mengendus napas manusia. Semua itu perlu dikomando dengan baik agar penyelamatan berlangsung maksimal. Tak boleh lagi terdengar para pengungsi kelaparan atau kekurangan alas tidur, selimut, dan air bersih.
Dalam bencana Padang, sangat memprihatinkan ketika Presiden Yudhoyono mengeluhkan partisipasi swasta dalam upaya evakuasi korban. Alat berat sulit diperoleh dan banyak perusahaan swasta mematok sewa. Sejauh ini hanya TNI yang bisa dengan cepat mengerahkan peralatannya. Sayangnya, peralatan TNI terbatas dan tersebar, sehingga butuh alat transportasi dan waktu lama untuk mengangkutnya ke Padang. Pusat penanganan bencana perlu revitalisasi agar penanganan korban bisa lebih cepat.
Birokrasi penanganan bencana juga perlu disederhanakan. Sampai hari ketiga, sukarelawan asing masih kesulitan masuk ke Indonesia. Kabar bahwa 42 anggota regu penyelamat dari angkatan pertahanan sipil Singapura tak bisa ke Indonesia karena pemerintah belum siap menerima bantuan asing, menunjukkan ada yang salah dengan birokrasi kita. Presiden sudah membuka tangan pada bantuan asing, tapi aparat pelaksana ternyata tidak siap. Dalam bencana yang masif seperti di Padang, kita jelas memerlukan uluran tangan dari segala penjuru dunia, karena yang kita miliki serba terbatas.
Menyadari kondisi geografis kita, penanganan bencana perlu mendapat cadangan alokasi yang cukup besar dalam anggaran negara. Dengan sosialisasi cukup, penanganan tanggap darurat yang baik, dan dana cukup, kita mestinya lebih siap menghadapi setiap bencana alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo