Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rakyat Memilih, Pusat Mengatur?

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lega juga hati Ferry Tinggogoy, anggota Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sekarang ia boleh jadi calon Gubernur Sulawesi Utara dalam pemilihan kepala daerah secara langsung Juni ini. Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan bahwa hanya partai yang punya kursi di DPRD yang bisa mengajukan calon kepala daerah. Ini rasional dan lebih adil.

PKB tak punya wakil di DPRD Sulawesi Utara, tapi gabungan beberapa partai politik bersedia mendukung pencalonan Tinggogoy. Setelah dijumlahkan, mereka memperoleh lebih dari 15 persen suara sah dalam pemilu lalu. Sebab timbulnya masalah ialah adanya ketentuan yang saling bertentangan mengenai persyaratan pencalonan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemda). Pertentangan ketentuan ini dianggap merugikan hak konstitusional Tinggogoy, yang kemudian diluruskan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan 22 Maret lalu.

Dalam Pasal 59 Undang-Undang Pemda ditentukan bahwa pasangan calon kepala daerah bisa diusulkan oleh partai atau gabungan partai yang punya sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu, sekalipun tanpa mendapat kursi di DPRD. Namun, penjelasan pasal Undang-Undang Pemda tersebut menentukan bahwa partai atau gabungan partai yang dimaksud ialah ?yang memiliki kursi di DPRD?.

Ketentuan penjelasan ini dianggap membatalkan isi pasal yang bersangkutan. Penjelasan tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan, kata MK. Suatu penjelasan tidak seyogianya membuat patokan baru, dan tak boleh membuat rumusan yang mengubah isi pasal yang dijelaskan. Maka, menurut MK, penjelasan tersebut berlawanan dengan kandungan Pasal 59 (1) Undang-Undang Pemda dan bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau, dengan kata lain, tidak sah.

MK membuat putusan pengujian Undang-Undang Pemda lainnya, yang tidak kurang pentingnya. Masalahnya cukup kompleks, dan salah satu alternatif penyelesaiannya bisa mengakibatkan jadwal pemilihan kepala daerah mundur. Pada intinya, yang jadi pokok sengketa ialah asas kebebasan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Pemilihan umum harus bebas, sehingga dengan jalan apa pun tidak boleh dipengaruhi kekuasaan pemerintah atau partai politik. Hubungannya dengan konstitusi ialah: apakah undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah boleh didasarkan pada bab pemerintahan daerah, atau harus didasarkan pada bab tentang pemilihan umum?

Undang-Undang Pemda ternyata didasarkan pada Pasal 18 UUD 1945, dalam bab mengenai pemerintahan daerah. Bagian mengenai pemilihan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemda itu didasarkan pada ayat yang berbunyi ?kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis?. Tidak disebut mengenai pemilihan umum secara langsung. Maka, Undang-Undang Pemda menempatkan urusan pemilihan kepala daerah sebagai bagian penyelenggaraan pemerintahan daerah, walau juga ditetapkan bahwa pemilihan dilakukan oleh rakyat secara langsung.

Konsekuensinya, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), yang bertanggung jawab kepada DPRD masing-masing daerah. Di tingkat pusat dibentuk Desk Pemilihan Kepala Daerah dengan Menteri Dalam Negeri sebagai penanggung jawab. Susunan seperti ini dikhawatirkan akan membuat pemilihan kepala daerah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Ini membuat beberapa LSM dan 21 KPU Provinsi memohon kepada MK agar membatalkannya dan menyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Yang diinginkan para penentang pemilihan kepala daerah seperti diatur Undang-Undang Pemda ialah agar pemilihan itu didasarkan pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur mengenai pemilihan umum. Dengan dasar itu, pemilihan kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat mandiri. MK menolak permohonan ini, karena pemilihan umum kepala daerah secara langsung tidak termasuk disebut dalam pasal konstitusi tersebut. Namun, MK menetapkan bahwa KPUD tidak harus bertanggung jawab kepada DPRD, sebab DPRD terdiri atas unsur-unsur partai politik yang ikut dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. MK mengatakan, demi kebebasan, KPUD hanya bertanggung jawab kepada publik.

Keputusan MK ini tidak diambil dengan suara bulat, karena tiga dari sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat dan menginginkan agar aturan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah didasarkan pada Pasal 22E UUD 1945 mengenai pemilihan umum. Keputusan MK ini memang belum memuaskan. Tapi, andaikata diputuskan sebaliknya, pemilihan kepala daerah terpaksa ditunda karena Undang-Undang Pemda harus dirombak dan disesuaikan lagi, padahal waktu yang dibutuhkan bisa panjang.

Saat ini yang lebih penting ialah mengusahakan agar pemilihan kepala daerah berjalan sesuai dengan rencana. Kelemahan keputusan MK sedapat mungkin diimbangi dengan menajamkan pengawasan publik. Perangkat peraturan yang tersedia sebisanya dimanfaatkan, ibarat panci yang penyok di sana-sini tapi masih bisa dipakai menanak nasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus