Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada empat fenomena yang terang-benderang mewarnai proses politik menjelang Pemilihan Umum 2019. Pertama, semakin gencarnya sejumlah ketua umum partai politik berebut kursi calon wakil presiden. Kedua, politikus "loncat pagar", yang dicalonkan lewat partai politik lain. Ketiga, menteri dan selebritas kembali marak dijadikan calon anggota legislatif. Keempat, tetap dimasukkannya mantan narapidana korupsi ke daftar calon anggota legislatif meskipun sudah dilarang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan. Keempatnya dapat diikat dalam satu-kesatuan dengan istilah "perilaku memperebutkan kursi politik" (office seeking behavior).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betul memang partai politik didirikan untuk mengikuti pemilihan umum dan meraih jabatan politik di lembaga eksekutif dan legislatif. Juga, tidak ada aturan yang dilanggar dari tingkah laku seperti itu. Artinya, dalam perspektif pilihan rasional, semuanya sah-sah saja. Namun, apakah kemudian berarti juga segala macam cara boleh saja dilakukan asal bisa menang?
Yang jadi persoalan, tindak-tanduk seperti ini terulang setiap kali pemilihan umum berlangsung. Lantas, mengapa terdapat kecenderungan perilaku bermotif pemburu jabatan dalam pemilihan dari partai politik ini terulang? Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan, tapi saya berpandangan hal itu kuat disebabkan oleh orientasi pragmatis dari partai politik.
Riset-riset soal pemburu jabatan pernah dilakukan. Beberapa hal yang disasar terkait dengan perilaku ini adalah faktor organisasi dan kelembagaan (Strom 1990), pengaruh dari kelompok kepentingan (Takayama 2007), dan pengaruh dari sistem pemilihan umum (Darmawan 2015).
Apa yang mempengaruhi tingkah laku itu? Helen Pedersen (2012) dalam artikelnya menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh partai politik dipengaruhi oleh apa yang partai itu inginkan. Selain itu, perilaku politik setiap partai merupakan respons terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat (Pedersen 2012).
Saya masih ingat betul jawaban lima tahun lalu dari seorang ketua umum partai politik ketika ditanya alasannya merekrut banyak selebritas. Jawabannya ialah partai politiknya tidak punya sumber daya (baca: uang) dan ikut pemilihan umum tentu ingin menang (baca: dapat kursi). Merekrut artis merupakan cara instan untuk meraih jabatan politik.
Dari situ dapat dikatakan bahwa partai politik berorientasi pragmatis memang benar adanya. Meski pada ilustrasi di atas saya hanya menyebutkan contoh satu partai politik, tapi saya meyakini bahwa kesukaan untuk bersikap pragmatis juga mewabah di partai politik lain walaupun belum tentu menghinggapi semua partai. Buktinya, dalam daftar calon legislator yang disetorkan ke KPU terdapat calon berlatar belakang menteri dan selebritas (di banyak partai politik) serta mantan narapidana korupsi (sedikit partai politik). Orientasi pragmatis partai ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Pedersen (2012) bahwa pilihan langkah partai sangat erat kaitannya dengan apa yang mereka inginkan.
Dalam kaitannya dengan merupakan respons terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat (Pedersen 2012), hal itu terjadi dalam kasus sejumlah partai yang diprediksi meraih suara di bawah ambang batas parlemen (4 persen) dan gagal melenggang ke Senayan. Beberapa partai khawatir hasil survei itu benar, sehingga kemudian mereka mengikuti langkah sebelumnya dari partai politik lain dengan semakin banyak merekrut selebritas. Ke depan, perlu ada perbaikan dalam regulasi partai politik agar pemilihan umum tidak sebatas dimaknai sebagai sarana kontestasi politik belaka, tapi juga arena kompetisi politik berkualitas.