Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANANG Girindrawardana semestinya tak perlu ragu mendukung keputusan mayoritas pimpinan Ombudsman Republik Indonesia, badan yang ia pimpin. Lewat sebuah penyelidikan, Ombudsman menyimpulkan polisi melakukan maladministrasi dalam penanganan kasus penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Alih-alih menyetujui, meneken, dan mengirim surat itu ke kepolisian, Danang malah mendiamkannya. Alasan Danang bahwa lembaganya tak boleh mempengaruhi kasus yang sedang disidik polisi sangat tak masuk akal. Tak memproses dokumen sepenting itu, ia sesungguhnya sedang melecehkan lembaga yang diketuainya sendiri.
Mengadu ke Ombudsman, Novel menyebutkan polisi melakukan balas dendam ketika menyidik kasusnya. Novel ditetapkan sebagai tersangka kasus penembakan pencuri sarang burung walet saat ia bertugas di Kepolisian Resor Kota Bengkulu pada 2004. Awal Mei lalu, rumah Novel digeledah dan mantan polisi itu ditahan.
Terhadap pengaduan Novel, Ombudsman membentuk tim peneliti yang terdiri atas dua anggota pimpinan dan enam anggota staf ahli. Tim menelisik kemungkinan kriminalisasi oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, yang ketika itu dikepalai Komisaris Jenderal Budi Waseso. Bukti-bukti menyebutkan Novel tidak berada di lokasi ketika penembakan pencuri sarang burung walet itu terjadi.
Seorang saksi ditengarai juga dipaksa memberikan kesaksian palsu. Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso disebut-sebut telah mengeluarkan surat yang menjadi dasar penangkapan dan penahanan Novel. Atas kesalahan itu, Ombudsman merekomendasikan polisi memeriksa Budi Waseso.
Sebelumnya, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi terhadap penangkapan dan penahanan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. Seperti dalam kasus Novel, penangkapan Bambang bernuansa balas dendam. Bambang dan Ketua KPK nonaktif Abraham Samad sebelumnya menetapkan calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Belakangan, status itu dibatalkan hakim dalam pengadilan praperadilan. Abraham Samad kini berstatus tersangka dalam perkara pemalsuan dokumen.
Sesuai dengan undang-undang, Ombudsman bertugas memberi peringatan kepada lembaga pemerintahan yang melakukan maladministrasi. Rekomendasi itu memang tidak mengikat secara hukum (not legally binding), tapi secara moral mesti diikuti (morally binding). Di sinilah rekomendasi Ombudsman menjadi penting.
Lebih dari sekadar perbedaan pendapat di antara para pemimpin Ombudsman, sikap lunglai Danang mudah dicurigai sebagai ekspresi takut kepada polisi. Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa polisi pun akan "memeriksa" pimpinan Ombudsman jika mereka macam-macam.
Danang semestinya tak gentar. Ia seharusnya menyadari tugas lembaganya adalah mengawasi penyimpangan lembaga lain. Lima belas tahun lalu, Ombudsman dibentuk dengan cita-cita mulia: memperbaiki birokrasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Takut terhadap ancaman kriminalisasi oleh polisi merupakan sikap cengeng dan kekanak-kanakan. Jika tak salah, Danang semestinya tak mudah digertak.
Ombudsman tak boleh dilemahkan dari dalam. Danang, yang mencalonkan diri lagi sebagai pemimpin Ombudsman 2016-2021, selayaknya menyadari kesalahannya. Jika tidak cepat mengoreksi diri, ia akan kehilangan kredibilitas—sesuatu yang ia butuhkan agar terpilih lagi menjadi pemimpin Ombudsman periode mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo