Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CALON independen bukanlah jaminan untuk menyelesaikan seabrek persoalan yang melilit Jakarta. Kendati begitu, munculnya pasangan kandidat Gubernur DKI Jaya dari jalur nonpartai politik bisa membawa harapan baru. Apalagi hal ini terjadi di tengah mampetnya aspirasi politik dan susahnya mendapat figur kandidat berintegritas tinggi—selain mumpuni.
Duet ini, siapa pun mereka, termasuk pasangan Faisal Basri Batubara dan Biem Benyamin, yang mengklaim sudah mengantongi suara dukungan minimal, setidaknya menggenggam dua kemenangan: merdeka dari partai politik dan penyandang dana. Sterilnya mereka dari "sponsor" tentu saja penting, lantaran akan membebaskan mereka dalam mengimplementasikan pelbagai program tanpa direcoki transaksi pragmatis yang menjerumuskan.
Tantangan terberat DKI-1 untuk melaksanakan serentetan kebijakan bukan cuma penyakit klasik: lambannya birokrasi. Gubernur juga sulit menjalankan program lantaran terbelenggu partai pengusung yang menuntut balas budi. Bukan mustahil partai penyokong butuh "atensi", yang berujung bagi-bagi rezeki dari, katakanlah, jatah proyek. Pundi-pundi partai—dan politikusnya—harus diisi, sehingga rawan korupsi. Jangan lupa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI tahun ini sangat menggiurkan: Rp 36 triliun!
Padahal problematika Ibu Kota sudah sangat kronis. Seorang pengamat perkotaan mengibaratkan Jakarta tak ubahnya seekor katak dalam tungku air panas yang siap dijadikan swike. Sang katak tak sadar tengah direbus. Baru saat perubahan suhu di dalam air naik perlahan, sampai hampir mencapai titik didih, sang katak hendak bergegas meloncat keluar, tapi terlambat. Pemimpin Jakarta idem ditto. Mereka baru terperenyak ketika semua masalah muncul bersamaan dan sukar ditangani.
Pasangan Faisal-Benyamin wajar menjadi daya tarik publik. Baru kali inilah ada duet yang sudah ajek memproklamasikan diri sebagai bakal calon Gubernur DKI—selain menjadi kandidat independen pertama di Jakarta. Ujian pertama bagi mereka tentu verifikasi Komisi Pemilihan Umum Daerah yang mensyaratkan pasangan calon gubernur nonpartai akan sah mengikuti kompetisi Gubernur DKI bila telah mengumpulkan dukungan sedikitnya 407.340 warga Jakarta.
Belum tentu menang, memang. Kalaupun akhirnya pasangan ini mengungguli lawan-lawannya, rintangan siap menghadang mereka. Apabila Faisal Basri atau siapa pun wakil independen menjadi Gubernur Jakarta, jalan mereka tak bisa lempeng. Kebijakan mereka menjalankan roda pemerintahan bisa dihantam kritik dan serangan "oposisi" di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selama DPRD masih dikuasai para wakil partai, besar kemungkinan program kandidat nonpartai akan dijegal di tengah jalan.
Karena itu, dibutuhkan amendemen undang-undang wakil rakyat. Undang-undang yang mengatur DPRD terakhir adalah Undang-Undang Nomor 27/2009. Ketentuan ini masih mensyaratkan bahwa anggotanya wajib berasal dari partai politik peserta pemilihan umum. Undang-undang ini perlu direvisi: dimungkinkan menerima anggota Dewan dari jalur nonpartai. Peraturan ini tentu saja akan menampar partai politik, yang gagal menampilkan figur berkualitas dari kadernya akibat lemahnya sistem rekrutmen.
Bila dalam tubuh eksekutif dan legislatif ada unsur independen yang progresif, proses dialogis ketika membahas gagasan dan program untuk menyelamatkan Jakarta diharapkan bisa lebih sehat dan efektif. Pijakan berdebat pun sangatlah rasional dan obyektif, yakni demi kepentingan publik. Bukan asal intrik demi kepentingan partai politik. Dan kita pun terbebas dari ancaman menjadi swike.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo