Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mencari Keadilan bagi Bank Bali

Rudy Ramli siap kehilangan Bank Bali, tapi tidak siap kalau bank ini dilikuidasi. Sikap fair dari BI sebaiknya bisa dipegang sebagai janji.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Bank Bali (BB) adalah batu ujian yang penuh tantangan bagi pemerintah. Setelah kasus ini bergulir ke DPR lalu kemudian ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), ternyata batu ujian itu semakin tak mudah dikendalikan. Memang benar, lembaga legislatif (DPR) dan lembaga yudikatif (PTUN) telah menangani kasus BB dengan pas. Pendek kata, kedua lembaga itu mendapat tepuk tangan. Sebaliknya, pemerintah tampak gamang, bahkan sering salah langkah.

Seharusnya, sudah sejak Oktober 1999, ketika Abdurrahman Wahid naik ke tampuk kekuasaan, pemerintah menyikapi kasus BB secara lain sama sekali. Kasus yang meletup di bawah pemerintahan B.J. Habibie ini—dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Habibie tidak terpilih lagi—sebaiknya ditangani sebagai kasus yang diwariskan pemerintah terdahulu. Pemerintah sekarang, yang sama sekali tidak terlibat kisruh BB, semestinya tidak perlu meneruskan kebijakan pemerintahan Habibie, yang cenderung membuat masalahnya berlarut-larut dan semakin kusut.

Ternyata, untuk menarik garis tegas dengan warisan Habibie, Menko Ekuin Kwik Kian Gie, yang awalnya tidak cukup sigap, belakangan malah terlalu sigap. Semula, pemerintah bersikukuh untuk mendapatkan win win solution, sesuatu yang agaknya bagi Rudy Ramli, pemilik lama BB, dianggap tidak fair. Kemudian, pemerintah juga tidak mampu bertindak sebagai wasit yang mengambil jarak sama, baik terhadap BPPN—yang gagal dengan proyek merger antara Standard Chartered Bank dan BB—maupun terhadap Rudy Ramli. Dalam keadaan tidak menentu—ketika BPPN telanjur mengajukan banding ke PTUN, DPR tidak mendukung rekapitalisasi BB sementara bank ini terus berdarah-darah—mendadak Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) mengembalikan kasus BB ke Bank Indonesia (BI). Nah, di sinilah Kwik Kian Gie terkesan begitu sigap untuk menjauh dari tanggung jawab.

Tapi, dengan cara itu, mungkin penyelesaiannya akan lebih mudah. Soalnya, BPPN terbebas dari tuntutan harus naik banding. Sedangkan BI sebagai lembaga independen—kini dipimpin Deputi Gubernur Anwar Nasution—telah berjanji untuk mencari penyelesaian secara fair. Minimal berarti, BB kembali ke status sebagai bank yang layak direkapitalisasi. Untuk itu, supaya CAR BB mencapai 4 persen, sesuai dengan ketentuan, pemerintah akan menyuntikkan dana 80 persen dan pemilik lama BB 20 persen.

Secara teknis, jalan keluar untuk kasus BB akhirnya ditemukan. Masalah timbul karena Rudy, yang kini hanya memiliki 5 persen saham BB, berpendapat bahwa menyetor 20 persen itu bukan tugasnya, tapi tugas Deutsche Bourse Clearing (DBC), yang menguasai 50 persen lebih saham BB. Singkat kata, DBC-lah kini pemegang saham mayoritas BB. Rudy malah ingin mundur dan minta kompensasi Rp 9 miliar—Rp 2 miliar untuk total gajinya selaku direktur utama BB selama tiga tahun, ditambah Rp 7 miliar untuk membayar ongkos pengacara. Jadi, setelah jatuh bangun berkali-kali, Rudy Ramli akhirnya akan kehilangan BB. Namun, ia tetap tidak bisa menerima kalau BB, misalnya, harus dilikuidasi.

Mungkin masyarakat tak lagi peduli, apakah BB direkapitalisasi atau dilikuidasi. Tapi pemerintah tidak bisa tidak peduli, karena yang dulu sangat berperan menjerumuskan BB adalah pemerintah (Habibie) juga. Pepatah lama mengatakan, ''tangan mencencang, bahu memikul." Dengan dukungan pemerintah, BI dapat mengambil alih beban itu, secara finansial. Mengenai upaya membongkar skandal BB dan mengadili yang mesti diadili, serahkanlah pada penegak hukum. Skandal yang memalukan itu mungkin masih akan lama baru terungkap. Tapi rekapitalisasi BB sebaiknya diutamakan, karena upaya ini pun akan dijadikan tolok ukur bagi sikap fair BI dan komitmen pemerintah untuk menyehatkan perbankan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus