Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, banyak hal bisa didebat. Dari awal, tak pernah jelas, apa kriteria organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang bisa mengajukan nama calon. Ada ormas keagamaan yang bisa mengajukan nama, bahkan lebih dari seorang, ada yang sama sekali tak diminta. Tiba-tiba saja diumumkan ada 204 calon anggota KPKPN.
Dari jumlah itu, DPR melakukan penyaringan, yang kini dikenal dengan kata sakti: fit and proper test. Di sini pun tak ada transparansi, karena ternyata tak semuanya dipanggil oleh DPR. Ada yang merasa memenuhi syarat tapi tidak dipanggil. Sementara itu, ada tujuh calon yang menyelonong masuk di luar angka 204, lalu dinyatakan lolos menjadi anggota KPKPN. Ada nama Tarman Azzam, padahal para wartawan sudah mengajukan protes ketika Ketua Umum PWI ini dinyatakan sebagai calon. Lalu ada wakil-wakil ormas keagamaan, termasuk dari Buddha, sementara dari umat Hindu tak ada satu pun yang mewakili. Lalu, apa yang dimaksud dengan "wakil berbagai potensi di masyarakat?"
Pernyataan Ketua DPR Akbar Tandjung, yang menyebut 45 anggota KPKPN itu sudah final, membuat urusan ini sekarang berada di tangan Presiden. Sesuai dengan Pasal 15 UU No. 28 Tahun 1999, Presiden tidak harus memilih semua calon yang diajukan DPR itu. Bisa saja Presiden hanya memilih 30 atau bahkan 20 orang, batas minimum yang ditentukan undang-undang. Namun, banyak orang mengharapkan agar proses fit and proper test itu diulang saja. Dibuat lebih terbuka dan serius, seperti yang dilakukan pada seleksi calon hakim agung.
Ini mengingat tugas KPKPN begitu penting. Keberadaan komisi ini tertuang dalam Tap MPR No. XI Tahun 1998, yang kemudian ditegaskan lagi dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Begitu strategisnya komisi ini, sehingga perlu saringan yang ketat dan orang yang duduk di sana mestilah punya kewibawaan dan kredibilitas yang tinggi. Jika komisi ini lembek, mudah kompromi, apalagi orang-orangnya masuk karena "titipan", nasibnya akan sama dengan komisi-komisi pemberantasan korupsi yang pernah ada sebelum ini. Menciptakan penyelenggara negara yang bersih haruslah menempatkan pemeriksa yang bersih. Kalau yang duduk di komisi ini orang-orang yang bermasalah, jangan-jangan komisi ini harus setiap saat diawasi dan bahkan diperiksa. Karena itu, kita berharap Presiden bisa lebih tegas memutuskan, apakah akan memilih sebagian saja dari mereka atau meminta nama-nama baru yang "tidak bermasalah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo