Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu mudahnya orang membeli nomor telepon seluler prabayar selama ini, semudah membeli pisang goreng. Bahkan harganya berlomba-lomba turun karena persaingan antaroperator. Dengan uang Rp 15 ribu, orang sudah bisa memiliki nomor telepon seluler prabayar dengan pulsa yang sama nilainya. Kalau pemilik nomor itu merasa tak perlu memperpanjangnya, mungkin karena nomornya sudah dikenal banyak orang atau dia merasa tak cocok, kartu prabayar dibuang begitu saja. Beli lagi yang baru. Gerai penjual kartu prabayar jumlahnya lebih banyak daripada kios koran.
Penyalahgunaan pun kerap terjadi. Fasilitas pengiriman pesan pendek (short message service) yang begitu mudah, membuat berbagai jenis penipuan berkembang. Ada pesan pendek yang mengiming-imingi hadiah dan calon korbannya harus mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu. Ada pesan pendek yang menipu calon korban dengan mengabarkan bahwa keluarganya mengalami kecelakaan. Belum lagi pesan pendek yang berisi fitnah dan menjelek-jelekkan seseorang.
Belakangan yang meresahkan adalah pesan pendek yang mengadu domba umat. Setelah bom meledak di Kuta dan Jimbaran, ada pesan pendek yang mengajak orang Bali membalas perlakuan aksi bom dengan mengusir pendatang yang beragama Islam. Polisi sibuk memberikan peringatan agar tidak ada yang terprovokasi. Pekan lalu, ratusan warga keturunan Cina di Bekasi berkumpul di Mapolres Metropolitan Bekasi, meminta penjelasan apa saja upaya polisi mencegah pesan pendek yang berbau SARA. Dalam pesan pendek itu disebutkan, akan ada pembantaian dan pemerkosaan terhadap warga keturunan Cina pada 13 November. Pengirimnya mengatasnamakan umat Islam.
Apa yang bisa dilakukan polisi? Tak bisa melacak dari mana sumber pesan pendek itu. Yang bisa dilakukan hanyalah memperkirakan di mana posisi pemilik ponsel ketika ia mengirim pesan. Ini disebabkan pesan pendek yang berisi teror dikirim oleh pengguna telepon seluler prabayar yang tidak teregistrasi. Karena itu pemerintah sekarang memproteksi kemudahan ini. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil telah mengeluarkan keputusan tertanggal 28 Oktober 2005 yang mengharuskan pemilik kartu prabayar mencatatkan identitasnya. Lewat peraturan ini, diharapkan pengirim pesan pendek bertanggung jawab terhadap apa yang dikirimnya.
Di negeri tetangga, peraturan seperti itu sudah lama diberlakukan. Namun alasannya berbeda, lebih menyangkut masalah keamanan. Lewat telepon seluler, orang bisa meledakkan bom karena ponsel diposisikan sebagai pengganti pemicu. Ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta ditengarai juga dilakukan lewat ponsel dengan teknik mengirimkan pesan pendek ke ponsel yang dijadikan sebagai pemicu bom.
Peraturan ini tentu mengekang kebebasan seseorang. Namun, karena telepon seluler tidak sekadar untuk berhalo-halo, tetapi di sana juga ada teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk kejahatan, peraturan menteri ini perlu didukung. Kebijakan itu sekaligus sebagai ajakan kepada warga masyarakat agar berani bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan—lewat pesan singkat itu. Masalahnya, peraturan ini tidak akan efektif menangkal kejahatan jika orang begitu mudahnya memalsu identitas. Jadi, harus ada instansi lain yang juga melakukan pengawasan ketat, seperti kelurahan atau kepala desa, supaya tidak gampang disogok untuk memperoleh KTP palsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo