Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mencari perairan sopan

Menlu Indonesia Ghazali, menandatangani perjanjian tentang batas laut teritorial di selat malaka dan laut cina selatan dengan malaysia. perjanjian sejalan dengan rancangan konvensi hukum laut versi 1981.

6 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eloklah kita dari ASEAN yang dipukul ombak laut ini memikirkan satu nama baru yang sesuai . . . Buat saya sangat sesuai kalau d ianggap laut itu sebagai perairan SOPAN. . . --Tan Sri Ghazali Shafie, Menlu Malaysia TENTU lebih dari sekedar masalah nama. Laut Cina Selatan, atau yang menurut peta penerbitan Departemen Dalam Negeri 1981 itu sebagai Laut Natuna, tak terkata pentingnya bagi kedua negara. Kodrat menurunkan terpisahnya Malaysia oleh jalur laut tersebut. Indonesia yang nenek moyangnya pelaut, mengklaim sebagian dari "perairan sopan" itu sebagai bagian wilayahnya. Perjanjian antara kedua negara yang ditandatangani di Jakarta pekan lalu mencoba mengatasi hal tersebut. Akibat penerapan konsepsi negara nusantara bagi Indonesia, maka yang belakangan ini wajar mengakui hak-hak tradisional dan kepentingan lain Malaysia di kawasan laut tersebut. Bagi Indonesia, lebih penting lagi adalah adanya pengakuan langsung dan tertulis dari jiran utama akan rezim negara nusantara. Walaupun, tentu saja, wujud pengakuan tidak selaluharus secara demikian. Sudah sejak 1957 Indonesia melakukan gerakan untuk memantapkan kesatuan wilayahnya. Sebelum itu, yarig namanya Indonesia adalah 13.000 pulau tok. Di laut, Republik berdaulat sampai batas 3 mil dari tiap-tiap pulau. Laut Jawa juga Laut Cina Selatan di bawah Natuna misalnya, di luar ukuran itu adalah laut lepas (high-seas)--tiada suatu kedaulatan pun di situ. Padahal sejarah menuturkan bagaimana laut ini merupakan tempat nelayan melempar kail, sebagai media kesadaran berbangsa dan berbahasa, forum penjagaan keamanan, tak lupa pula sebagai penghubung bagi kasih Cik Wirda di Palembang dengan Andi Zainuddin di Makassar. Semuanya telah berlangsung lanna dan tanpa gugatan dari siala pun. Karena itu gebrakan yang berwujud pencetusan konsepsi nusantara itu dinilai sebagai satu peristiwa penting yang menyebarkan aspek persatuan dari nilai perjuangan 1945. Menurut konsepsi nusantara, yang kemudian diangkat menjadi Wawasan Nusantara (WN), segala perairan yang terletak di antara pulau-pulau (atau bagian pulau) dengan tidak memandang jarak dan kedalaman, adalah suatu kesatuan yang melekat dengan bagian daratan Republik ini. WN tak lain adalah penulisan kembali dari paham tanahair, yang sudah lama berkumandang dalam lagu perjuangan itu. Indonesia kini adalah nusantara yang mulus: tiada lagi cabik cabik. Tapi sampai ke mana batasnya? Sampai ke garis-garis pangkal lurus (straight-baselines) yang muncul dari rumusan ini: garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar dan pulau-pulau (atau bagian pulau) yang paling pinggir. Konvensi Hukum Laut. Garis-garis lurus yang berjumlah 196 ini melilit Indonesia pada bagian terluar. Di sebelah dalam garis-garis tersebut adalah perairan pedalaman,yang merupakan unsur mutlak wilayah Republik. Ke arah Iuar lagi selebar 12 mil terbentuk laut teritorial, juga wilayah nasional, minus beberapa hak yang diberikan kepada pelayaran internasional. Para ahli berfatwa, penentuan batas wilayah laut adalah hak penuh dari negara pantai yang bersangkutan. Namun, jangan lupa, hakim bijak Mahkamah Internasional dalam kasus perikanan Inggris-Norwegia 1951. Dalam tindakan tersebut, khotbahnya, harus juga diperhatikan aspek-aspek internasional. Begitulah adat berbangsa-bangsa. Indonesia tak melalaikan hal itu. Ke luar, belantara internasional sudah dijelajahi. Ke dalam, N selalu disusupkan dalam banyak kesempatan: peraturan perundang-undangan, kontrak-kontrak perminyakan dan perpajakan,dan dimimbarmimbar. Semuanya dilakukan tentu tidak dengan maksud langsung mengantungi kata setuju dari berbagai pihak--tapi sekurang-kurangnya meniadakan antipati terhadap WN. Perjanjian pekan lalu, seperti dikatakan Menlu Ghazali, adalah "satu-satunya perjanjian yang paling comprehensive . . . yang pernah ditandatangani di antara kedua-dua negara." Sebelumnya beberapa perjanjian dan persetujuan telah ditandatangani kedua negara: tentang batas laut teritorial di Selat Malaka, dan landas kontinen di selat tersebut dan Laut Cina Selatan. Semuanya, walau bersandar pada WN, tapi tidak memuat langsung pengakuan akan paham tersebut. Perjanjian minggu lalu juga senapas dengan pasal-pasal mengenai negara nusantara seperti yang tercantum dalam Rancangan Konvensi Hukum Laut versi 1981, yang sebentar lagi akan disetujui sebagai perangkat hukum laut internasional yang baru. Yakni jaminan tidak terganggunya hak-hak tradisional dan kepentingan lain dari negara tCrtentu di suatu kawasan laut, yang kemudian masuk menjadi perairan nasional negara lain karena diterapkannya rezim negara nusantara. Perjanjian tersebut juga merupakan lanjutan dari Iemorandum of Understanding antara kedua negara tahun 1976. Sehingga walaupun isi perjanjian itu sendiri belum dipublikkan, kentara bahwa bagi Malaysia akan ada jaminan lalulintas kapal dari barat dan timur wilayahnya, hak perikanan bagi nelayan yang sudah dari dulu beroperasi di situ dan hak pemasangan kabel bawah laut--aktivitas-aktivitas yang sudah jamak dalam tata laut internasional. Ini sudah sepantasnya. Bagi Indonesia sendiri perjanjian tersebut adalah tambahan rangsangan untuk lebih membangkitkan jiwa bahari. Lapangan kerja di laut, sumber-sumber alam nonminyak dan sebagainya makin terbuka. Sebaliknya, tentu saja pengelolaan sumber-sumber daya alam harus berwawasan pelestari-. an lingkungan--supaya anak cucu kelak tidak kekeringan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus