Eloklah kita dari ASEAN yang dipukul ombak laut ini memikirkan
satu nama baru yang sesuai . . .
Buat saya sangat sesuai kalau d ianggap laut itu sebagai
perairan SOPAN. . .
--Tan Sri Ghazali Shafie, Menlu Malaysia
TENTU lebih dari sekedar masalah nama. Laut Cina Selatan, atau
yang menurut peta penerbitan Departemen Dalam Negeri 1981 itu
sebagai Laut Natuna, tak terkata pentingnya bagi kedua negara.
Kodrat menurunkan terpisahnya Malaysia oleh jalur laut tersebut.
Indonesia yang nenek moyangnya pelaut, mengklaim sebagian dari
"perairan sopan" itu sebagai bagian wilayahnya.
Perjanjian antara kedua negara yang ditandatangani di Jakarta
pekan lalu mencoba mengatasi hal tersebut. Akibat penerapan
konsepsi negara nusantara bagi Indonesia, maka yang belakangan
ini wajar mengakui hak-hak tradisional dan kepentingan lain
Malaysia di kawasan laut tersebut. Bagi Indonesia, lebih penting
lagi adalah adanya pengakuan langsung dan tertulis dari jiran
utama akan rezim negara nusantara. Walaupun, tentu saja, wujud
pengakuan tidak selaluharus secara demikian.
Sudah sejak 1957 Indonesia melakukan gerakan untuk memantapkan
kesatuan wilayahnya. Sebelum itu, yarig namanya Indonesia adalah
13.000 pulau tok. Di laut, Republik berdaulat sampai batas 3 mil
dari tiap-tiap pulau. Laut Jawa juga Laut Cina Selatan di bawah
Natuna misalnya, di luar ukuran itu adalah laut lepas
(high-seas)--tiada suatu kedaulatan pun di situ.
Padahal sejarah menuturkan bagaimana laut ini merupakan tempat
nelayan melempar kail, sebagai media kesadaran berbangsa dan
berbahasa, forum penjagaan keamanan, tak lupa pula sebagai
penghubung bagi kasih Cik Wirda di Palembang dengan Andi
Zainuddin di Makassar. Semuanya telah berlangsung lanna dan
tanpa gugatan dari siala pun. Karena itu gebrakan yang berwujud
pencetusan konsepsi nusantara itu dinilai sebagai satu peristiwa
penting yang menyebarkan aspek persatuan dari nilai perjuangan
1945.
Menurut konsepsi nusantara, yang kemudian diangkat menjadi
Wawasan Nusantara (WN), segala perairan yang terletak di antara
pulau-pulau (atau bagian pulau) dengan tidak memandang jarak dan
kedalaman, adalah suatu kesatuan yang melekat dengan bagian
daratan Republik ini. WN tak lain adalah penulisan kembali dari
paham tanahair, yang sudah lama berkumandang dalam lagu
perjuangan itu.
Indonesia kini adalah nusantara yang mulus: tiada lagi cabik
cabik. Tapi sampai ke mana batasnya? Sampai ke garis-garis
pangkal lurus (straight-baselines) yang muncul dari rumusan ini:
garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar dan
pulau-pulau (atau bagian pulau) yang paling pinggir.
Konvensi Hukum Laut.
Garis-garis lurus yang berjumlah 196 ini melilit Indonesia pada
bagian terluar. Di sebelah dalam garis-garis tersebut adalah
perairan pedalaman,yang merupakan unsur mutlak wilayah Republik.
Ke arah Iuar lagi selebar 12 mil terbentuk laut teritorial, juga
wilayah nasional, minus beberapa hak yang diberikan kepada
pelayaran internasional.
Para ahli berfatwa, penentuan batas wilayah laut adalah hak
penuh dari negara pantai yang bersangkutan. Namun, jangan lupa,
hakim bijak Mahkamah Internasional dalam kasus perikanan
Inggris-Norwegia 1951. Dalam tindakan tersebut, khotbahnya,
harus juga diperhatikan aspek-aspek internasional. Begitulah
adat berbangsa-bangsa.
Indonesia tak melalaikan hal itu. Ke luar, belantara
internasional sudah dijelajahi. Ke dalam, N selalu disusupkan
dalam banyak kesempatan: peraturan perundang-undangan,
kontrak-kontrak perminyakan dan perpajakan,dan dimimbarmimbar.
Semuanya dilakukan tentu tidak dengan maksud langsung
mengantungi kata setuju dari berbagai pihak--tapi
sekurang-kurangnya meniadakan antipati terhadap WN.
Perjanjian pekan lalu, seperti dikatakan Menlu Ghazali, adalah
"satu-satunya perjanjian yang paling comprehensive . . . yang
pernah ditandatangani di antara kedua-dua negara." Sebelumnya
beberapa perjanjian dan persetujuan telah ditandatangani kedua
negara: tentang batas laut teritorial di Selat Malaka, dan
landas kontinen di selat tersebut dan Laut Cina Selatan.
Semuanya, walau bersandar pada WN, tapi tidak memuat langsung
pengakuan akan paham tersebut.
Perjanjian minggu lalu juga senapas dengan pasal-pasal mengenai
negara nusantara seperti yang tercantum dalam Rancangan
Konvensi Hukum Laut versi 1981, yang sebentar lagi akan
disetujui sebagai perangkat hukum laut internasional yang baru.
Yakni jaminan tidak terganggunya hak-hak tradisional dan
kepentingan lain dari negara tCrtentu di suatu kawasan laut,
yang kemudian masuk menjadi perairan nasional negara lain karena
diterapkannya rezim negara nusantara.
Perjanjian tersebut juga merupakan lanjutan dari Iemorandum of
Understanding antara kedua negara tahun 1976. Sehingga walaupun
isi perjanjian itu sendiri belum dipublikkan, kentara bahwa bagi
Malaysia akan ada jaminan lalulintas kapal dari barat dan timur
wilayahnya, hak perikanan bagi nelayan yang sudah dari dulu
beroperasi di situ dan hak pemasangan kabel bawah
laut--aktivitas-aktivitas yang sudah jamak dalam tata laut
internasional. Ini sudah sepantasnya.
Bagi Indonesia sendiri perjanjian tersebut adalah tambahan
rangsangan untuk lebih membangkitkan jiwa bahari. Lapangan kerja
di laut, sumber-sumber alam nonminyak dan sebagainya makin
terbuka. Sebaliknya, tentu saja pengelolaan sumber-sumber daya
alam harus berwawasan pelestari-. an lingkungan--supaya anak
cucu kelak tidak kekeringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini