Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reaksi negatif pasar dan potensi kerugian investor seharusnya dapat dikalkulasi sejak awal agar kebijakan yang baru dirilis tak harus diralat beberapa hari kemudian.
Kegaduhan ini bermula pada Selasa dua pekan lalu, ketika Budi Karya mendadak mengumumkan penghentian sementara pembangunan kereta ringan dan kereta cepat tersebut sampai seusai Lebaran 2019. Alasannya, pembangunan proyek di kilometer 11-17 jalur tol Jakarta-Cikampek bersinggungan dengan proyek tol layang dan menimbulkan kemacetan parah. Lewat tiga hari, kebijakan itu diralat: Budi Karya memastikan proyek terus berjalan.
Perubahan drastis dalam waktu singkat semacam itu jelas membuat publik bertanya-tanya. Ada kesan, pemerintah kurang berkoordinasi dengan Adhi Karya dan Wijaya Karya, dua badan usaha milik negara yang menjadi bagian dari kontraktor pelaksana proyek. Solusi yang kemudian diputuskan, yakni perbaikan manajemen waktu pengerjaan proyek agar tak bertumpuk pada saat bersamaan, seharusnya sudah dipikirkan sejak awal.
Selain masalah koordinasi, ada soal yang lebih mendasar. Menghentikan sementara sebuah proyek infrastruktur pasti membuat waktu penyelesaiannya molor dan biayanya membengkak tak karuan. Ini jelas pelanggaran kontrak kerja yang bisa membuat BUMN dituding wanprestasi. Belum lagi urusan legal formalnya: apa bisa pengumuman menteri punya kekuatan hukum untuk kontraktor yang sudah terikat kontrak dengan pemodal dan pemilik proyeknya?
Satu hal yang jelas, sikap mencla-mencle Budi Karya memberikan kesan buruk soal kapabilitas pemerintah mengelola negara. Investor dan pengusaha bisa-bisa menuding pemerintah tak mampu memberikan kepastian hukum untuk menjamin rampungnya sebuah proyek. Ponten pemerintah dalam indeks kenyamanan dan kemudahan berusaha, yang menjadi indikator penting masuk-tidaknya investasi ke Indonesia, pasti melorot.
Apalagi ini bukan kasus pertama. Pada Oktober lalu, pemerintah membatalkan kenaikan harga Premium tak sampai satu jam setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan perubahan harga. Pekan lalu, giliran kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution tentang relaksasi Daftar Negatif Investasi yang diralat. Kesan serampangan dan tak profesional tak bisa dihindarkan.
Pemerintah bisa saja berkilah bahwa perubahan dan perbaikan kebijakan tak perlu dibesar-besarkan. Para menteri bisa juga beralasan: cepat tanggapnya pemerintah merespons keluhan mereka yang dirugikan justru merupakan bukti transparansi dan akuntabilitas. Meski sekilas meyakinkan, argumentasi semacam itu jelas mengada-ada. Akibat kebijakan keliru Menteri Perhubungan, misalnya, saham Adhi Karya dan Wijaya Karya sempat anjlok masing-masing 1,77 dan 1,9 persen.
Walhasil, mekanisme perumusan kebijakan pemerintah perlu ditinjau kembali—agar keputusan setengah matang tak buru-buru dirilis ke publik hanya untuk diperbaiki kemudian. Blunder Budi Karya, Jonan, dan Darmin tak boleh berlanjut. Presiden Joko Widodo tak hanya perlu menegur para pembantunya, tapi juga segera memper-baiki manajemen pemerintahannya yang terkesan acak-acakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo