Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarif dasar listrik diusulkan naik tahun ini. Alasannya sederhana, untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak akhir tahun lalu. Alasan ini benar secara fakta tapi sebetulnya menyesatkan. Hal ini terjadi karena fakta-fakta yang dijadikan landasan tidak lengkap dan berasumsi kinerja Perusahaan Listrik Negara tidak berubah.
Asumsi ini keliru. Berdasarkan rencana yang diajukan PLN dan disetujui pemerintah, pemakaian BBM untuk membangkitkan listrik akan berubah drastis dari 30 persen tahun lalu menjadi 8 persen tahun depan, yaitu melalui peningkatan penggunaan gas, batu bara, dan panas bumi sebagai sumber energi. Dari segi ongkos, perubahan ini akan memberikan dampak penghematan yang luar biasa. Mantan komisaris PLN Mohamad Ikhsan, misalnya, memperkirakan nilainya sekitar Rp 20 triliun setiap pengurangan porsi BBM 5 persen. Itu berarti tahun depan potensi penghematan PLN sebesar Rp 80 hingga Rp 100 triliun, tergantung laju konsumsi listrik nasional dan harga minyak dunia.
Jumlah ini jelas lebih besar ketimbang subsidi Rp 38 triliun yang menurut PLN dibutuhkan tahun ini untuk menutup kerugian operasionalnya. Maka jelaslah pangkal soal mengapa tarif listrik PLN rata-rata sekarang masih sekitar 23 persen di atas yang berlaku secara internasional. Ketergantungan pemasok setrum nasional ini pada BBM terlalu tinggi.
Ketergantungan itu kini sedang dibenahi. Bila pembenahan itu berjalan menurut rencana, tanpa perubahan tarif listrik pun PLN akan meraih untung sangat besar. Lantas apakah wajar menaikkan tarif tahun ini, yang berarti semakin menambah keuntungan yang sudah besar itu tahun depan, dengan membebankannya ke masyarakat?
Jawabnya jelas tidak. Pemerintah justru harus berpikir keras agar tarif listrik nasional lebih rendah atau minimal setara dengan standar internasional. Ini akan membantu daya saing industri nasional, mempertinggi potensi pendapatan pajak pemerintah, membuat daya beli masyarakat membaik, dan akhirnya berujung pada peningkatan kinerja ekonomi bangsa. Bandingkan dengan dampak kenaikan listrik: daya saing industri melesu, PHK bertambah, inflasi melonjak, tingkat konsumsi masyarakat menurun, kredit macet perbankan bertambah, dan bukan tak mungkin akan berujung menjadi krisis ekonomi.
Krisis ekonomi tentu harus dihindarkan. Itu sebabnya membantu PLN menjalankan kewajibannya tanpa mengubah tarif listrik tahun ini, alias dengan menyuntikkan dana Rp 38 triliun, adalah sebuah investasi yang menguntungkan. Pendanaannya pun tak harus mengubah APBN karena pemerintah memang sudah mencadangkan bantuan public service obligation senilai Rp 17 triliun. Maka yang perlu dicari tinggal Rp 21 triliun, jumlah yang lebih kecil ketimbang subsidi bunga biaya penyehatan perbankan setiap tahun.
Sisa dana ini pun sepatutnya dicari di sektor perbankan nasional saja. Ini akan membantu menyehatkan industri jasa keuangan domestik, yang selama ini umumnya mempunyai rasio pinjaman dibanding deposito (loan to deposit ratio) di bawah 60 persen, dan uang sisanya disalurkan ke sertifikat Bank Indonesia, surat utang negara, serta surat berharga pemerintah lainnya. Itu berarti fungsi mediasi bank nasional masih jauh dari memadai dan ujung-ujungnya pemerintah jua yang menyubsidi bank dengan menggunakan uang pajak rakyat dalam membayar bunga berbagai instrumen keuangan tersebut.
Subsidi itu lebih baik dipakai untuk menyehatkan PLN. Dengan demikian, sekali dayung, banyak pulau yang terengkuh. Tarif tak perlu naik, PLN menjadi perusahaan yang untung, fungsi mediasi bank berjalan, dan pemerintah menghemat anggaran yang selama ini dibelanjakan untuk membayar bunga berbagai surat berharganya.
Bank pun tak perlu terlalu takut uangnya tak kembali. Potensi keuntungan yang bakal dinikmati PLN sangatlah besar, bila porsi BBM untuk pembangkit listrik dapat diturunkan menurut rencana. Sehingga, pinjaman pun tak perlu dalam jangka panjang untuk melunasinya, bahkan jika target meleset satu atau dua tahun. Lagi pula PLN tak mungkin kabur ke luar negeri dan menyembunyikan aset-asetnya seperti yang dilakukan para konglomerat hitam.
Pemerintah justru harus membantu PLN menggapai targetnya, terutama di bidang yang berada di luar kekuasaan badan usaha milik negara ini. Misalnya, jaminan dalam memperoleh pinjaman, kepastian pasokan gas, pembebasan lahan, dan berbagai perizinan yang diperlukan. Rasanya tak berlebihan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memobilisasi aparatnya untuk mencapai tujuan ini agar proyek penurunan porsi BBM berada dalam jalur cepat. Sebab, semakin lekas tujuan tercapai, semakin besar pula penghematan yang didapat.
Penghematan ini akan membuat pemerintah mempunyai lebih banyak dana untuk membiayai berbagai proyek pemberantasan kemiskinan dan membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih mudah menepati janji-janji masa kampanyenya. Itu sebabnya majalah ini berpendapat: ”naik tarif no, transformasi PLN yes”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo