Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH harus segera mengambil langkah penyelamatan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Skema penyelamatan selayaknya menggunakan solusi bisnis untuk mengatasi kehancuran maskapai pemerintah yang disebabkan salah urus menahun dan belakangan diperburuk oleh pandemi. Solusi buat Garuda tidak boleh lagi politis, apalagi membawa-bawa frasa klise: demi Merah Putih--nasionalisme buta yang tak lagi relevan.
Garuda kini tidak hanya berkejaran dengan kreditor lokal, namun juga dikejar-kejar pemberi utang dari seluruh dunia. Terutama perusahaan penyewaan pesawat alias lessor—yang menjadi pos utang terbesar Garuda sebesar US$ 1,428 miliar per triwulan ketiga 2020.
Yang terbaru adalah Garuda kalah gugatan dari Helice Leasing S.A.S dan Atterrissage S.A.S di Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA), pada 6 September 2021. Dua perusahaan penyewaan di bawah grup lessor besar yang berbasis di Irlandia, Goshawk, itu menggugat Garuda karena tidak membayar biaya sewa pesawat sejak Januari hingga Oktober 2020. Garuda harus membayar biaya sewa, termasuk beban lainnya sesuai dengan perjanjian, berikut bunga. Ada pula kewajiban mengganti biaya sidang.
Sebelumnya, Helice berhasil meyakinkan pengadilan Belanda untuk menyita duit yang ada di rekening Garuda di Amsterdam pada 27 Maret 2020. Pengadilan Prancis juga menyita duit Garuda di Prancis atas permintaan Helice pada 28 Mei 2020. Garuda dikejar-kejar karena berutang US$ 5,15 miliar. Menghadapi hukum negara lain, Garuda sulit berkutik. Di dalam negeri, mereka mungkin bisa bermain-main dengan kreditor yang terikat dengan hukum Indonesia.
Kekalahan Garuda dari Goshawk bukan tidak mungkin memicu lessor lain, yang semula masih mau duduk bernegosiasi, untuk memilih berlaga di pengadilan. Padahal, hingga Februari 2021, manajemen Garuda sudah bisa menegosiasikan biaya sewa pesawat sampai US$ 12 juta per bulan.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan manajemen Garuda Indonesia sebetulnya sudah punya solusi penyelamatan perusahaan sejak awal triwulan kedua 2021. Dari empat opsi, pemerintah dan manajemen menimbang pilihan mengajukan perlindungan pailit, baik ke pengadilan di Amerika Serikat maupun Inggris.
Langkah ini sama belaka seperti mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan niaga di Indonesia. Sementara PKPU hanya mengikat kreditor yang berakad di bawah hukum Indonesia, bankruptcy protection mengikat kreditor global.
Manajemen Garuda jauh hari telah menyorongkan opsi ini kepada Kementerian BUMN. Kementerian juga telah menjelaskannya kepada DPR. Namun rencana ini ditentang serikat pekerja Garuda, yang khawatir perusahaan akan benar-benar bangkrut jika tidak ada kesepakatan restrukturisasi.
Sambil menunggu opsi pamungkas, langkah manajemen patut diapresiasi dengan memulai negosiasi pelonggaran utang satu per satu. Sayangnya, perusahaan tetap tak bisa menjanjikan dengan pasti waktu pemulihan bisnisnya kepada kreditor--yang membuat negosiasi menjadi alot.
Saat ini pandemi masih menjadi problem pokok. Masyarakat memang boleh terbang, namun dengan syarat ketat: harus sudah divaksin dan membawa bukti negatif Covid-19 dengan tes usap yang harganya masih mahal. Pembatasan pergerakan manusia itu menghantam jantung bisnis maskapai penerbangan.
Tekanan terhadap Garuda bisa dilihat dari pendapatan perusahaan yang anjlok: dari Rp 13,074 triliun sepanjang semester pertama 2020, tinggal Rp 9,933 triliun sepanjang enam bulan pertama 2021. Penghasilan itu tak sebanding dengan beban usaha semester pertama 2021 yang mencapai Rp 19,672 triliun. Ditambah dengan bunga utang, Garuda tekor Rp 12,855 triliun.
Kerugian tersebut membuat perusahaan megap-megap membayar utang. Kini, gunung utang perusahaan--jangka pendek dan panjang--telah mencapai Rp 184,815 triliun. Dari jumlah itu, utang sewa merupakan yang terbesar, yaitu Rp 25,889 triliun untuk jangka pendek dan Rp 58,265 triliun untuk jangka panjang. Kita tahu, utang sewa yang paling menggerus kantong Garuda adalah rental pesawat.
Meminta perlindungan kebangkrutan kepada pengadilan di luar negeri bukanlah langkah jelek. Justru hal itu merupakan sikap rendah hati, karena Garuda harus datang dengan proposal keringanan dan pembayaran utang secara terbuka. Cara ini telah diambil Philippines Airlines dan Thai Airways, yang mengalami problem serupa. Sudah sepatutnya pemegang saham Garuda Indonesia mendukung langkah strategis ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo