Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah sesumbar akan mengadopsi metaverse.
Infrastruktur jaringan Internet tidak memadai.
Aturan hukum perlindungan data pribadi tak kunjung tersedia.
PERKEMBANGAN teknologi metaverse mulai menggeliat di Indonesia. Pemerintah perlu bergegas agar tren baru yang bisa merambah segala jenis bisnis ini bisa berdampak positif bagi perkembangan ekonomi nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati belum ada definisi baku tentang metaverse, penyebutan istilah tersebut sudah sangat populer di kalangan dunia usaha internasional. Seperti biasa, pemerintah selalu cepat menangkap sesuatu yang baru berbau perkembangan teknologi Internet. Akhir 2021, Presiden Joko Widodo mengenalkan istilah metaverse ke ruang publik kita. Menurut dia, metaverse bisa menyediakan ruang virtual untuk berdakwah dan membaca Al-Quran bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metaverse bisa jadi merupakan masa depan yang akan menjadi ruang hidup kedua kita, dari yang ada sekarang. Dengan kacamata besar bermuatan teknologi realitas maya (virtual reality) dan headphone, teknologi ini membawa penggunanya seolah-olah berada dalam konten bersama pengguna lain, bukan sekadar menatapnya dari layar telepon seluler. Facebook, yang kini mengganti nama perusahaan mereka menjadi Meta, telah memulainya lewat konser virtual.
Namun harapan baik dari kehadiran metaverse bisa sirna bila tidak ada perbaikan infrastruktur dasar. Seperti semua teknologi informasi lain, metaverse tak bisa lepas dari Internet. Jaringan generasi ke-5 alias 5G menjadi syarat minimal. Namun lebar pita frekuensi di Indonesia tidak mencukupi untuk menyediakan layanan terendah 5G, yaitu 100 megahertz.
Jaringan 5G, yang dikembangkan sejak 2018, juga membutuhkan kabel serat optik. Banyak daerah belum tersentuh fiber optic akibat operator emoh menebus tingginya beban sewa. Sejumlah pemerintah daerah menetapkan harga sewa lahan kabel sama mahalnya dengan area perumahan.
Indonesia kini masih berada di era 4G—yang dikembangkan sejak 2013. Ketersediaannya pun tidak merata. Data Ookla, penyedia layanan perbandingan kecepatan Internet, pada 2021 menyebutkan hanya Jawa Barat, Banten, Riau, dan Bali yang memiliki ketersediaan 4G di atas 88 persen.
Minimnya jaminan hukum di ruang virtual juga bisa menjadi kendala. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tak kunjung beres membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sejak sepuluh tahun silam. Mereka malah sibuk memperebutkan lembaga pengelola data—yang kini dianggap lebih bernilai dari minyak bumi.
Padahal undang-undang tersebut sangat krusial sebagai payung hukum di dunia maya. Tidak hanya bagi warga sebagai pemilik data privat, tapi juga buat industri dan negara. Dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, negara dapat memaksa semua instansi dan lembaga memperbaiki infrastruktur teknologi informasi, sumber daya manusia, dan regulasi menjadi lebih aman dari serangan siber.
Di samping infrastruktur dan regulasi, ganjalan besar lain adalah makin terkikisnya kebebasan berekspresi di Tanah Air. Teknologi metaverse adalah yang selalu tumbuh sepanjang waktu. Sulit berharap bisa lahir inovasi dan kreativitas dari mereka yang terkekang dan selalu menerima tekanan ketika menyampaikan ekspresi berbeda kepada penguasa.
Tanpa ada upaya perbaikan serius, manfaat metaverse hanya menjadi pepesan kosong. Masyarakat Indonesia kembali hanya akan menjadi pasar bagi para penyedia jasa teknologi dari negara lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo