Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah perlu segera mengendalikan jumlah utang yang terus menumpuk. Pinjaman-pinjaman baru membuat kewajiban pembayaran bunga terus bergerak naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persentase pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah tahun ini sudah mencapai 17,8 persen. Sebelum pagebluk pada 2019, kewajiban membayar bunga utang masih 11,9 persen dari belanja. Bahkan, lima tahun sebelum itu, beban bunga utang berada di angka 7,5 persen dari belanja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Longgarnya pengelolaan fiskal selama tiga tahun ini boleh disebut menjadi biang melonjaknya jumlah utang. Alih-alih mengencangkan ikat pinggang, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru memanfaatkan momentum wabah untuk menciptakan utang besar. Dengan dalih pemulihan ekonomi, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibikin melar hingga sempat menyentuh 6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran yang melebar ini membuat pemerintah mencari sumber pendanaan eksternal lewat utang. Akibatnya, utang pun membengkak.
Selama dua tahun pandemi, utang pemerintah melonjak hampir 50 persen di angka Rp 7.000-an triliun. Celakanya, utang jumbo itu dipakai untuk pengeluaran yang tidak produktif. Di antaranya, belanja pegawai, perjalanan dinas aparatur sipil negara karena program work from Bali yang ternyata lebih banyak mudaratnya, serta sederet proyek infrastruktur yang tidak tepat sasaran, seperti ibu kota baru, kereta cepat Jakarta-Bandung, hingga bandar udara dan pelabuhan yang mangkrak.
Rasio utang pemerintah memang masih 42,07 persen, di bawah batas 60 persen. Tapi hal ini tidak bisa menjadi pembenaran. Sebab, utang pemerintah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan utang pemerintah negara-negara lain, yakni bunga. Pemerintah Indonesia harus membayar bunga tinggi, yang menurut catatan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) rata-rata 7-8 persen per tahun. Itu sebabnya beban bunga dalam anggaran akan semakin berat.
Sebagai perbandingan, tingkat bunga di Jepang hanya 0,2 persen. Dengan asumsi nilai utang seperti Indonesia, yakni di kisaran Rp 7.000 triliun, pemerintah Jepang hanya perlu membayar bunga Rp 14 triliun setiap tahun. Sedangkan pemerintah Indonesia mesti membayar bunga utang hingga Rp 405,86 triliun.
Beban bunga utang yang terus melonjak membuat ruang gerak pemerintah untuk hal-hal yang lebih produktif menjadi terbatas. Akibatnya, rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban dari ketidakbecusan pemerintah mengelola anggaran.
Di tengah situasi itu, sudah semestinya Presiden Joko Widodo bersikap lebih bijak dan realistis. Ketimbang terus menggaungkan pembangunan proyek-proyek mercusuar yang tidak mendesak, pemerintah dapat mengefisienkan anggaran dan memprioritaskan belanja yang berdampak langsung pada perekonomian.
Toh, pemerintahan Jokowi dengan sisa waktu yang ada juga tidak akan mungkin bisa melunasi utang segunung tersebut, termasuk bunganya. Walhasil, pemerintah berikutnya bakal tertatih-tatih mengurusi beban utang warisan Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo