Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Terjebak dalam Selimut Kekuasaan

Nahdlatul Ulama belum bisa lepas dari pusaran kekuasaan. Ihktiar kembali ke khitah masih sebatas lagu lama. 

 

 

7 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Editorial Koran Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alasan Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf mendukung penundaan Pemilu 2024 tidak masuk akal.

  • Bertolak belakang dengan mayoritas suara warga nahdliyin.

  • NU seharusnya kembali ke khitah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf belum bisa membawa organisasi Islam terbesar itu lepas dari pusaran kekuasaan. Bolak-balik berkata ingin menjauhkan NU dari politik praktis, Yahya malah terang-terangan mendukung manuver sejumlah ketua partai politik menunda Pemilu 2024. 

Dukungan terhadap penundaan Pemilu 2024 ia sampaikan saat berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalam di Pinagar, Pasaman Barat, Sumatera Barat, belum lama ini. Yahya menilai menunda hajatan besar demokrasi merupakan hal yang masuk akal di tengah pelbagai musibah yang tengah dihadapi bangsa ini. Alasan itu tentu saja terlalu mengada-ada. Pada kenyataannya, pemerintah pernah menggelar pilkada 2020 di tengah pandemi, jauh sebelum program vaksinasi berlangsung.

Pernyataan Yahya Cholil Staquf itu seperti menelan ludah sendiri. Dalam berbagai kesempatan, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo ini berjanji NU bisa membawa warna yang sehat bagi demokrasi. Tapi Yahya mendukung ide yang justru bisa membahayakan demokrasi. Menunda pemilu, yang otomatis memperpanjang masa jabatan presiden, sama saja dengan melanggengkan kekuasaan rezim. Ini bertolak belakang dengan amanat reformasi.

Yahya juga semestinya berkaca pada hasil survei Indikator Politik Indonesia baru-baru ini. Berdasarkan hasil sigi itu, 71,3 persen kaum nahdliyin justru menolak penundaan Pemilu 2024 dengan dalih apa pun. Dukungan Yahya terhadap ide penundaan pemilu jelas berseberangan dengan suara mayoritas warga Nahdlatul Ulama.

Dalam kancah politik nasional, kekuasaan memang bukan hal baru bagi NU. Mereka telah lama berkecimpung dalam politik praktis. Mula-mula bersama Masyumi, lalu membuat partai sendiri. Partai NU bahkan pernah menempati peringkat kedua setelah Golongan Karya pada Pemilu 1971, sebelum dipaksa melebur bersama partai Islam lainnya, seperti Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Parmusi, ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973. Setelah reformasi, banyak petinggi NU—termasuk Abdurrahman Wahid—terlibat dalam pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dengan jumlah anggota mendekati 60 juta orang, wajar bila NU menjadi magnet bagi politikus dan penguasa. Selain PKB, banyak partai lain berada di sekitar mereka. PDI Perjuangan, misalnya, pernah mengusung 100 kader NU dalam pemilihan kepala daerah lalu. Setiap menjelang pemilu, banyak elite politik menyambangi kantong-kantong nahdliyin demi mencari dukungan.

Sikap NU masuk ke politik praktis tak lepas dari banyaknya pengurus organisasi ini yang juga aktif di posisi strategis pemerintahan. Di pemerintahan Presiden Jokowi, kemesraan antara NU dan pemerintah bahkan semakin terasa. Salah satunya dipicu oleh membesarnya populisme Islam dan politik identitas. Organisasi berlambang bintang sembilan ini digadang-gadang bisa menjadi penyeimbang bagi menguatnya kelompok konservatisme agama.

Tapi bukan berarti Gerakan Pemuda Anshor dan Banser NU berhak memperoleh pelatihan bela negara dari TNI Angkatan Darat—meskipun dalihnya untuk melawan radikalisme. Itu sebabnya, rencana Yahya merangkul TNI sebaiknya dibuang jauh-jauh. Bila diteruskan, PBNU akan semakin keluar dari relnya sebagai organisasi sosial keagamaan dan malah menjadi suplemen bagi kekuasaan.

Tak hanya itu. Militerisasi warga sipil justru berpotensi menjadi bibit lahirnya kelompok paramiliter, yang merupakan duri bagi demokrasi. Kita tentu tak ingin kekerasan fisik yang terjadi pasca tragedi 1965 kembali terulang.

Ketimbang sibuk mengurusi penundaan Pemilu 2024 dan merangkul tentara melatih GP Ansor, Yahya sebaiknya berfokus mengembalikan organisasi ini kembali ke khitah. Hanya dengan cara itu Nahdlatul Ulama bisa menjadi kelompok penyeimbang yang berjarak dari kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus