Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pencurian Ikan di Natuna dan Lemahnya Pengawasan

Pencurian ikan di perairan Indonesia terus terjadi sejak zaman Orde Baru. Perlu penguatan pengawasan dan kerja sama lintas negara.

1 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pencurian ikan oleh kapal ikan asing di Laut Natuna terus terjadi.

  • Stok ikan di perairan asal mereka sudah jauh berkurang.

  • Pengawasan yang minim membuat mereka leluasa mencuri ikan.

Anta Maulana Nasution
Peneliti Bidang Kemaritiman Pusat Riset Politik BRIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maraknya pencurian ikan atau illegal fishing oleh kapal ikan asing di wilayah Indonesia, khususnya di Laut Natuna, kembali mencuat. Praktik ilegal ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Orde Baru, saat pengawasan terhadap sumber daya perikanan masih terbilang lemah. Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan, selama Januari-September 2021 ada 47 kapal ikan asing yang tertangkap dan rata-rata berasal dari negara Asia Tenggara (Vietnam, Malaysia, dan Filipina). Menurut Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono, ada kemungkinan kapal ikan asing yang saat ini melakukan penangkapan ikan ilegal di laut Indonesia mencapai jumlah ribuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberantasan pencurian ikan mulai difokuskan pada 2014 saat Menteri Kelautan dijabat oleh Susi Pudjiastuti. Hasilnya positif dan bahkan Indonesia menuai banyak pujian dari dunia internasional. Tidak hanya itu, potensi stok ikan di Laut Indonesia juga meningkat dari 7,31 juta ton pada 2013 menjadi 12,54 juta ton pada 2017. Meski demikian, penangkapan ikan ilegal masih terus terjadi. Mengapa hal ini terjadi?

Perspektif Indonesia

Sumber daya perikanan di laut Indonesia, khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), masih melimpah dibanding di negara tetangga. Namun, sekitar 80 persen lebih kapal ikan Indonesia masuk kategori kapal ikan kecil (di bawah 10 gross tonnage). Kondisi ini membuat mereka hanya mampu menangkap ikan di wilayah teritorial (0-12 mil laut) dan banyak daerah penangkapan ikan yang “kosong”, terutama di wilayah ZEE.

Jumlah kapal pengawas juga kurang. Saat ini Kementerian Kelautan hanya memiliki 30 kapal pengawas, jumlah yang jauh dari ideal untuk mengawasi laut yang luasnya mencapai 3,25 juta kilometer persegi.

Selain itu, penetapan batas maritim antara Indonesia dan negara tetangga, khususnya untuk wilayah ZEE dengan Vietnam dan Malaysia, masih belum selesai. Hal ini menyebabkan masih adanya daerah abu-abu yang menyebabkan ketidakpastian dalam penangkapan ikan.

Perspektif Kapal Ikan Asing

Pada April dan Juni lalu, saya mewawancarai beberapa nakhoda dan anak buah kapal dari kapal ikan asing yang mencuri ikan di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, dan Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Sebagian nakhoda itu ditangkap oleh TNI Angkatan Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan. Mereka berasal dari Vietnam, Filipina, dan Taiwan.

Ada beberapa alasan mengapa mereka mencuri ikan di Indonesia. Pertama, sumber daya ikan di wilayahnya sudah menurun sehingga terjadi penurunan hasil tangkapan ikan. Sekali beroperasi di Laut Sulawesi, kapal ikan Filipina membutuhkan waktu sekitar dua pekan dengan tangkapan mencapai 700 kilogram, jumlah yang sangat sulit didapat jika mereka beroperasi di laut Filipina Selatan.

Kedua, terjadi kapasitas berlebih di kapal Filipina dan Vietnam. Hal ini membuat penangkapan ikan di wilayah lautnya menjadi sangat kompetitif. Apalagi sumber daya ikannya terus menurun.

Ketiga, ZEE Indonesia di Laut Sulawesi dan Laut Natuna terbilang sepi dari nelayan Indonesia. Hal ini membuat mereka sangat leluasa mencuri ikan di kawasan tersebut.

Keempat, mereka beroperasi tidak sendirian. Rombongan kapal Vietnam mencapai 10 kapal dalam sekali operasi. Kapal ikan Filipina juga begitu, meskipun jumlahnya tidak sebanyak rombongan Vietnam.

Kelima, pengawasan negara masih lemah. Kapal ikan Filipina, misalnya, adalah milik sebuah perusahaan perikanan di Pelabuhan Ikan General Santos, pelabuhan perikanan terbesar di Filipina Selatan. Mereka hanya menjalankan perintah dari perusahaan dan fishing master, yang menentukan lokasi penangkapan ikan. Hasil tangkapan ilegal itu diizinkan untuk dijual di pelabuhan tersebut dan pihak berwenang di sana tidak berkeberatan.

Sikap Indonesia

Penanganan pencurian ikan ini tidak bisa hanya dilakukan dari dalam negeri saja, tapi juga harus ada upaya diplomasi dengan negara tetangga (Malaysia, Vietnam, dan Filipina) yang nelayannya banyak mencuri ikan di laut Indonesia. Diplomasi bisa dilakukan dalam kerangka ASEAN, yang meminta negara anggotanya untuk sama-sama bekerja sama dalam menanggulangi terjadinya illegal fishing. Diplomasi juga bisa dilakukan secara bilateral dengan mengarah pada kerja sama di bidang perikanan, baik sektor ekonomi maupun keamanan.

Sebagai contoh adalah diplomasi bilateral dengan Vietnam. Saat ini industri perikanan Vietnam sedang meningkat dan membutuhkan banyak pasokan ikan. Tapi sejak 2017 negara itu mendapat kartu kuning dari Komisi Eropa yang menangani bidang kelautan dan perikanan karena maraknya pencurian ikan ilegal oleh nelayannya. Hal tersebut mempersulit Vietnam memasarkan hasil perikanannya. Dalam kondisi tersebut, Indonesia dapat membantu Vietnam dengan bekerja sama menanggulangi penangkapan ikan ilegal, seperti patroli terkoordinasi di wilayah rawan pencurian ikan. Indonesia juga dapat membuat komitmen kerja sama perikanan dengan Vietnam, seperti mengadakan joint venture dan merelokasi beberapa industri perikanan maju di Vietnam ke Indonesia. Tentu hal tersebut dapat memperkuat industri perikanan dalam negeri dan juga transfer teknologi perikanan.

Saat ini penangkapan ikan ilegal bukan lagi dipandang sebagai kejahatan perikanan biasa, tapi mulai dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara dan terorganisasi, yang disebut transnational organized crime. Penanggulangannya pun tidak bisa hanya dihadapi sendiri, melainkan harus melibatkan negara-negara lain dan organisasi global yang memiliki kepentingan yang sama untuk mendukung keberlanjutan sumber daya perikanan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus