Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengawal Perjanjian Freeport

Proses pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah memasuki babak baru.

18 Juli 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Produksi Freeport Anjlok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rio Christiawan
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah memasuki babak baru. Pemerintah Indonesia, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pertambangan, telah menandatangani perjanjian pokok atau head of agreement (HoA) untuk melakukan pengambilalihan 51 persen saham. Sesungguhnya ini merupakan langkah konkret yang strategis, meskipun banyak pihak mengkritik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang beranggapan bahwa HoA yang ditandatangani pada 12 Juli 2018 antara Inalum dan PTFI tidak mengikat. Apalagi Rio Tinto, perusahaan yang memiliki hak partisipasi pada PTFI, menyatakan HoA itu tidak mengikat.

Masyarakat perlu memahami bahwa dalam proses pengambilalihan saham diperlukan beberapa langkah hukum. HoA barulah langkah pertama. Ini harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk sampai pada tujuan divestasi. Jadi, yang tepat sebenarnya adalah HoA belum mengikat. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam perjanjian, untuk menjadikannya mengikat, HoA akan dikonversi dalam perjanjian jual-beli saham (share purchase agreement), perjanjian antar-pemegang saham (share holder agreement), dan pertukaran informasi (exchange agreement).

Menurut Cambridge Law Dictionary (2018), HoA adalah dokumen yang ditandatangani para pihak sebelum mereka menandatangani perjanjian utama. Secara hukum, HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalamnya, tapi kesepakatan itu belum bisa serta-merta efektif terjadi karena HoA belum dikonversi dalam perjanjian utama.

Dalam konteks ini dapat dipahami jika Rio Tinto mengasumsikan bahwa HoA tersebut tidak mengikat karena belum serta-merta efektif. Dalam posisi Rio Tinto tentu masih terdapat beberapa kondisi prasyarat dan prasyarat lanjutan yang harus dipenuhi melalui perjanjian utama sebelum pengambilalihan 51 persen saham oleh Inalum berlaku efektif. Serangkaian uji tuntas ataupun prasyarat dan prasyarat lanjutan harus dilakukan untuk menuju kesepakatan pokok.

Saat ini yang terpenting adalah bagaimana mengawal konversi HoA tersebut ke dalam perjanjian pokok divestasi 51 persen saham PTFI. Potensi masalah kritis yang perlu direalisasi dengan baik dalam perjanjian utama adalah soal saham partisipasi sebesar US$ 3,5 miliar. Di pihak lain, Rio Tinto sebagai pemegang 40 persen saham memiliki hak dan kewajiban yang hampir sama dengan Freeport-McMoran Inc. sebagai pemegang saham utama PTFI. Pemerintah harus memutuskan satu di antara dua opsi: hanya mengambil alih saham PTFI melalui Freeport-McMoran atau melalui Freeport-McMoran dan Rio Tinto.

Langkah pemerintah mulai mengambil alih saham PTFI sudah tepat. Jika persoalan hak partisipasi Rio Tinto tidak segera diselesaikan, mulai 2022 Rio Tinto berhak mendapat dividen dari hak produksi hingga 2041. Langkah ini tampaknya mengacu pada skema divestasi sesuai Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun 2017, yang lebih meninggalkan sedikit risiko dibanding menghentikan kontrak karya tambang pada 2021. Sebab, Freeport-McMoran bukan satu-satunya pihak dalam pelaksanaan kontrak karya tersebut.

Saat ini tantangannya adalah menyusun struktur transaksi yang dapat diterima baik oleh Inalum, Freeport-McMoran, dan Rio Tinto sehingga divestasi PTFI dapat diwujudkan. Untuk mengamankan divestasi PTFI bagi semua pihak, prasyarat lanjutan yang harus terpenuhi adalah terbitnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM hingga setidaknya hingga 2041. Ini karena izin usaha pertambangan khusus bersifat mengikuti divestasi. Adapun persoalan royalti dan pembayaran pajak sudah harus disepakati pada saat penandatanganan perjanjian utama, yakni perjanjian jual-beli saham.

Harga dan struktur transaksi perlu dikalkulasi secara matang sebelum dituangkan dalam perjanjian pokok agar dapat diterima semua pihak. Persoalan lingkungan PTFI mengenai penggunaan 4.535 hektare kawasan hutan lindung juga harus dicarikan solusinya, sesuai dengan rekomendasi kementerian terkait. Hal ini diperlukan untuk menghindari kewajiban bersama yang dapat merugikan pemerintah melalui Inalum.

Rio Christiawan

Rio Christiawan

Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus