ROESTAM Effendi pada usia 76 meninggal dunia. Seseorang
kemudian bertanya apakah dia begitu penting?
Kita memang tak cukup panjang ingatan.
Saya menulis di 2aman reaksi yang maha ganas, di bawah ancaman
tangan besi Gobnor - Jenderal Foch . . . sewaktu "selentingan
ucapan yang salah" dapat membawa orang-orang ke Boven Digul dan
Tanah Merah, di masa rakyat penuh dibelukari oleh
cecunguk-cecunguk dan mata-mata Belanda . . .
Kalimat-kalimat itu ditulisnya di tahun 1962, dalam sebuah surat
menjawab pertanyaan Ajip Rosidi, dan kemudian diterbitkan Ajip
dalam Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir (1964).
Ada hal yang mungkin dilebih-lebihkan dalam keeluruhan surat
itu. Ia bernada seorang tua yang amarah karena tak diketahui
bahkan diremehkan) sumbangan sejarahnya. Juga ingatan Roestam
tentang masa 20-an sudah mulai kabur. Tapi nampaknya ia benar
penyair itu merasakan kekangan yang nyata, justru ketika
pelbagai cita-cita berkecamuk dan harus diutarakan.
Drama bersajaknya Bebasari ditulisnya di awal tahun 1920-an.
Seperti kumpulan sajaknya Percikan Permenungan, waktu itu tak
ada penerbit yang mau menampungnya. Roestam mengusahakan
semuanya sendiri. Hampir saja naskah ini hilang dan dilupakan.
Dengan kiasan (untuk keindahan? Atau untuk keamanan?), sandiwara
itu berkisah tentang pemuda yang hendak merebut kekasihnya dari
tahanan raksasa. Agak kuno, memang, seperti dongeng kesatria --
puteri -- dan -- naga. api kali ini sang kekasih adalah
Bebasari: lambang kemerdekaan itu sendiri.
Mungkin karena itu pemerintah Belanda membeslah Bebasari.
Pementasannya, yang direncanakan oleh para murid MULO di Padang
dan para mahasiswa kedokteran di Batavia, dicegah.
Itu memang tak menunjukkan bahwa Bebasari adalah sebuah karya
yang kuat. Namun alasan pemerintah Belanda memang bukan alasan
estetika. Akhirnya pelarangan itu cuma memperlihatkan betapa
lemahnya kekuasaan kolonial -- dalam hal pembenaran diri. Ia
tampak takut kepada kata-kata penyair (yang waktu itu belum
dikenal), suatu indikasi bahwa kalimat itu, bila terdengar,
mengandung sesuatu yang bisa dibenarkan orang banyak.
Dan Roestam Effendi memang ingin berbicara kepada orang banyak
itu. Tokohnya dalam Bebasari bergolak:
Haram di beta harta hiasan
Haram di beta harta pinjaman
Haram bagiku tinggi jabatan,
Haram bagiku bintang berintan.
Tahun-tahun ketika Bebasari dan Pecikan Permenungan ditulis
adalah tahun-tahun radikal. Menjelang Roestam berumur 17 tahun
Hindia Belanda resah. Di Toli-toli (Sulawesi Tengah) terjadi
letusan ketidak-puasan rakyat. Beberapa pangreh praja dan
seorang Belanda tewas. Di tahun yang sama, Juli 1919, di Garut
Haji Hasan menolak memberikan padinya ke pemerintah kolonial,
dan terbunuh diserbu pasukan.
Roestam Effendi, kita ketahui, kemudian masuk partai komunis. Ia
berangkat ke Negeri Belanda dan jadi anggota parlemen. Saya
meninggalkan lapangan sastra di Indonesia, katanya, karena ingin
memperjuangkan kemerdekaan nasional secara langsung dan akrit di
lapangan politik. Ia tak percaya lagi sepenuhnya kepada kekuatan
kata-kata agaknya.
Di tahun 1946 ia pulang, tak lagi komunis, tak lagi menulis.
Tapi puisinya telah menghidupkan kekuatan liris bahasa
Indonesia yang tak bisa diam:
Malam lah sunyi, lah sunyi senyap
Embun kan jatuh, kan jatuh lembab
Lampu lah mati, lah kelip kelap
Pena lah penat, lah banyak sesat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini