APAKAH dalam bulan puasa sekolah akan diliburkan atau tidak
hingga kini masih juga menggantung tak terjawab. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) tetap minta agar sekolah libur penuh selama
bulan puasa. Sedang sampai pekan lalu. Menteri P & K Daoed
Joesoef tetap mempertahankan keputusan pemerintah: sekolah akan
diliburkan 10 hari dalam bulan puasa. Tiga hari pada permulaan
bulan puasa "untuk memungkinkan yang masih hidup menabur bunga
sambil berziarah kemakam sanak keluarga," dan 7 hari di sekitar
hari raya Idulfitri untuk memungkinkan merayakan lebaran di
lingkungan keluarga yang selama ini terpisah karena aktifitas
perantauan.
Pengasan Menteri P & K itu diuapkannya pekan lalu waktu
mengunjungi Sumatera Barat. Tampaknya Daoed Joesoef menganggap
penting penegasan ini diucapkan di daerah yang kelslamannya kuat
ini. Hampir separuh dari pidatonya pada upaara peresmian
pemakaian gedung baru Kanwil P & K Sumatera Barat -
dipergunakannya untuk menjelaskan pendirian pemerintah tentang
soal ini. Katanya: "Keputusan pemerintah itu tidak bermaksud
untuk merugikan agama dan merupakan hasil penelitian dan
pertimbangan yang lama, sedikitnya sejak 1975." Sebagai contoh
dikemukakannya, di beberapa negara yang secara eksplisit
menyatakan diri sebagai negara Islam, seperti Arab Saudi,
Pakistan dan Malaysia, sekolah-sekolah tidak libur selama bulan
puasa. Sekolah jalan terus sedangkan para ulama di sana tidak
meributkannya. Masalah libur atau tidak libur di bulan puasa
bukan masalah agama karena tidak merugikan agama," tapi masalah
kebijaksanaan pendidikan, pendidikan nasional," kata Daoed.
Untuk memperkuat argumentasi ini, Menteri P & K mengutip
pendapat seorang ulama, K.H. Achmad Shiddiq, pengasuh Pondok
Pesatren Shiddiqiyah, Jember, yang dimuat dalam majalah Mimbar
Pendidikan Agama. Terlepas dari berbagai latar belakang
(termasuk politik) tanggapan masalah "liburan puasa" dianggap
ulama ini "telah banyak dipengaruhi emosi." Menurut kyai ini,
justru dengan puasa mencernakan ilmu lebih mudah. Orang tempo
dulu bahkan harus tirakat untuk mencapai ilmu/keahlian tertentu.
Mengutip beberapa kitab dan hadith, Kyai Achmad Shiddiq
menyimpulkan bahwa Ramadhan adalah bulan perjuangan, ibadah,
ilmu, sosial dan bulan ujian.
Perintah Tuhan
Apa sikap MUI? Setelah bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina
Graha Senin pagi pekan lalu, Ketua MUI Buya Hamka melihat ada
perbedaan pendirian antara Presiden dengan Menteri P & K.
Presiden mengatakan bahwa bulan puasa tetap libur, hanya harinya
tidak penuh. Tapi Daoed Joesoef mengatakan bulan puasa tidak
libur karena tidak ada perintah Tuhan. Itu kan jelas berbeda,"
kata Hamka di rumahnya pekan lalu pada Slamet Djabarudi dari
TEMPO.
Menurut Hamka, pertemuan MUI dengan Presiden yang berlangsung
selama satu jam itu dilakukan atas permintaan MUI khusus untuk
membicarakan masalah liburan puasa. MUI dan para pcmimpin "yang
punya perasaan agama" masih mengajukan permintaan agar liburan
puasa sebulan penuh. Walaupun diancam akan dihentikan
subsidinya, menurut Hamka, PP Muhammadiyah tetap akan
meliburkan sekolah-sekolahnya penuh selama bulan puasa.
Suara yang senada dengan MUI dikeluarkan oleh Fraksi PP di DPR.
Ketua FPP Nuddin Lubis mengutip UU no. 4 tahun 1950 yang
menyebutkan: libur sekolah bagi sekolah-sekolah negeri
ditetapkan dengan "mengingat kepentingan pendidikan, faktor
musim, kepentingan agama dan hari-hari raya kebangsaan." Ia
berpendapat sebaiknya diubah dulu UU-nya bila akan mengadakan
perubahan liburan puasa. "Kalau kita mengakui bernegara hukum,
mustinya kalau bertindak selalu menurut undang-undang." Ia
berharap Menteri P & K tidak akan memaksakan kemauannya.
Diakuinya, di Arab Saudi tidak ada libur khusus bulan puasa,
sebab liburan panjang sudah diberikan pada bulan-bulan panas
(musim panas). Membandingkan liburan di Indonesia dengan Arab
Saudi dianggapnya tidak kena karena kondisi geografisnya
berbeda. Alasan Menteri P & K bahwa tidak ada perintah agama
untuk libur bulan puasa dikembalikan oleh Nuddin Lubis: "Tidak
ada perintah untuk tidak libur di luar bulan itu." Dan Buya
Hamka menyambung "kalau begitu tidak usah pakai libur sama
sekali, toh tidak ada perintah Tuhan." katanya.
Bagaimana sikap daerah? Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat H.
Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sempat menyampaikan kegelisahan dan
keresahan masyarakat Islam di daerah tentang masalah ini sewaktu
bertemu dengan Menteri P & K di Bukittinggi pekan lalu. "Saya
sependapat dengan MUI Pusat. Bulan puasa hendaknya libur penuh,"
katanya pada TEMPO. Alasan bahwa tidak diliburkan itu untuk
mengejar ketinggalan pelajaran dianggapnya tidak masuk akal.
Misalnya menjelang puasa ada liburan untuk sekolah yang sampai
1« bulan. Liburan ini bisa saja ditunda pelaksanaannya dalam
bulan puasa. "Ini sekedar contoh bagaimana alasan yang
dikemukakan tidak meyakinkan kita," ujar bekas Dubes RI untuk
Iran itu.
Diendapkan
Mengapa musti libur dalam bulan puasa? "Ini justru untuk
meningkatkan pendidikan keagamaan," kata Dr. Palimo Kayo. Selama
bulan puasa tiap malam anak-anak harus sembahyang tarawih,
tadarus, sahur menjelang pagi. Itu berakibat kurang tidur.
Bagaimana bisa belajar dengan baik kalau yang bersangkutan
kurang tidur?
Ketua FPP Kalimantan Selatan Zafuri Zumri di samping mendukung
permintaan MUI menghimbau Pemda Kalimantan Selatan untuk ikut
mengusahakan agar keputusan Menteri P & K ditinjau kembali.
"Minimal Gubernur supa!l bisa mengusahakan agar Kalsel
dikecualikan dari SK Menteri itu," kata Zumri. Alasannya: agar
anak-anak daerah yang bersekolah di Banjarmasin bisa ulang
berlibur ke kampung masing-masing.
Bagaimana sikap pemerintah? Pada TEMPO Senin pagi lalu Menteri
P & K Daoed Joesoef menegaskan: "Tidak ada masalah lagi tentang
liburan puasa. Itu sudah keputusan Presiden." Bagaimana tentang
permintaan MUI? "Itu sudah keputusan Presiden," Menteri sekali
lagi menegaskan.
Tapi kompromi tampaknya masih bisa terjadi. Menurut Ketua MUI
Hasan Basri seusai pertemuannya dengan Presiden Soeharto pekan
lalu, Kepala Negara menjelaskan bahwa pada prinsipnya penambahan
hari libur selama bulan puasa disetujui. Jadi "masih ada
kemungkinan jumlah hari libur itu ditambah," kata Hasan Basri.
Bahwa masalah ini "peka" dan bisa "dipolitikkan" agaknya
disadari semua pihak. "Masalah ini kita endapkan dulu. Toh
waktunya masih 2 bulan," kata Menteri Agama Alamsyah pada TEMPO
pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini