Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sebaiknya tetap memasukkan usaha perikanan tangkap ke daftar negatif investasi. Larangan masuknya investasi asing itu, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016, penting demi menyelamatkan kekayaan ikan Indonesia. Pemerintah tentu telah menimbang kondisi bahwa empat dari sebelas wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sudah mengalami overfishing. Pengalaman menunjukkan kebanyakan pelaku illegal fishing adalah kapal asing.
Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang mendukung daftar negatif investasi tetap diberlakukan, sama sekali tak bisa disalahkan. Tentu ia tak ingin masuknya investor asing akan memicu lagi maraknya pencurian ikan di perairan kita. Tapi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, yang ingin larangan itu dikaji kembali, tidak asal bicara. Luhut melihat potensi ikan yang besar, misalnya di perairan Natuna, belum dimanfaatkan optimal akibat tak tersedianya kapal penangkap ikan yang cukup.
Sesungguhnya ada masalah yang lebih penting dikaji selain pro dan kontra Menteri Susi dan Menko Luhut Pandjaitan itu. Industri pengolahan ikan di seluruh Indonesia sekarang ini mengalami kesulitan pasokan bahan baku dan terpaksa bekerja dengan kapasitas minimal. Akibat keringnya pasokan, pada Juni lalu pemerintah mengimpor 2.000 ton ikan untuk mengatasi kekurangan pasokan industri pengolahan dalam negeri. Fakta ini tentu saja tidak "selaras" dengan pernyataan Menteri Susi bahwa ketersediaan ikan Indonesia melimpah setelah kapal-kapal asing ditenggelamkan.
Artinya, kecukupan pasokan bahan baku ikan untuk industri pengolahan dalam negeri seharusnya menjadi patokan dalam memberikan izin bagi usaha perikanan tangkap. Menteri Susi boleh saja menghentikan pemberian izin untuk investor asing, tapi pada saat yang sama ia perlu menyiapkan regulasi yang memudahkan pengurusan izin kapal-kapal lokal. Fakta di lapangan saat ini menunjukkan izin bagi kapal lokal dengan pemodal dalam negeri pun tidak gampang didapatkan. Kesulitan mengurus izin kapal lokal inilah yang, antara lain, diduga menyebabkan menurunnya pasokan ikan bagi industri pengolahan dalam negeri.
Kehati-hatian Menteri Susi dalam memberikan izin bagi kapal lokal memang perlu. Tapi itu bukan berarti semua pemain lokal harus dicurigai menjadi "boneka" investor asing sehingga izin kapalnya dihambat. Menteri Susi hanya perlu membuat mekanisme pengawasan perizinan yang lebih baik, agar praktek tercela tidak terulang. Ia perlu memastikan tak ada lagi praktek kapal berbendera Indonesia tapi sahamnya dimiliki asing—dan biasanya atas nama pejabat penting Indonesia.
Menteri Susi perlu memonitor agar tak ada lagi kapal berbendera Indonesia yang menangkap ikan di perairan Indonesia sekaligus menjadi "pedagang pengumpul" di tengah laut dan kemudian menjual ikannya ke negeri tetangga, seperti Filipina dan Thailand. Praktek buruk di masa lalu seperti inilah yang membuat industri pengolahan ikan dalam negeri selalu kekurangan pasokan. Negara juga dirugikan lantaran pajak dari penghasilan ikan masuk ke negeri orang.
Menteri Susi perlu disokong dalam memberantas praktek terlarang itu—seraya berharap ia tetap menjaga jarak antara tugas besar ini dan kepentingan bisnis pribadinya. Menteri Susi semestinya tidak membuang kesempatan menjadikan pemain-pemain lokal sebagai "tuan rumah" dalam usaha perikanan tangkap, menggantikan pemain asing yang sudah terlalu lama menggaruk kekayaan laut kita. Itu bisa dilakukannya dengan membuat regulasi yang "ramah" kepada nelayan dan pengusaha lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo