Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGANJILAN proses pengadaan enam radar baru TNI Angkatan Udara semestinya ditelisik lebih jauh. TNI memerlukan radar baru untuk mengejar kebutuhan ideal 32 unit radar dari 20 unit yang sudah ada. Lelang pengadaannya telah berlangsung pada April 2015, tapi dibatalkan pada November tahun lalu. Alasannya, tak ada peserta tender yang memenuhi syarat.
Ada dugaan pembatalan itu akibat campur tangan pejabat tinggi TNI untuk meloloskan produk Thales Raytheon Systems. Ini adalah perusahaan pertahanan yang bermarkas di Paris, Prancis, yang sudah beberapa kali memasok radar TNI. Dari dokumen penawaran tender, terlihat sebetulnya ada radar yang lebih canggih dan murah dari produsen lain, seperti Weibel Scientific, Denmark. Bila Thales dimenangkan, akan kentara sekali adanya kongkalikong dalam pelelangan. Itu sebabnya pelelangan diulang. Spesifikasi radar pun diubah agar cocok dengan produk Thales.
Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan harus memeriksa kasus ini. Namun yang lebih penting adalah TNI mesti membenahi proses pengadaan alat utama sistem persenjataan sehingga kasus serupa tidak terulang.
Pengadaan alat utama itu selama ini rawan manipulasi karena sifatnya yang tertutup dan nilainya yang besar. Kita belum lupa soal rencana pembelian Sukhoi Su-35 Flanker pada Mei lalu yang tidak terbuka. Harga pesawat lebih mahal dari informasi umum. Tak jelas pula bagaimana transfer teknologi nanti berlangsung. Pada 2012 juga sempat terjadi keributan ketika TNI membeli enam pesawat Sukhoi Su-30 yang harganya telah digelembungkan.
Sebenarnya sudah ada berbagai regulasi untuk membenahi mekanisme pengadaan alat pertahanan. Misalnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Undang-undang ini antara lain menyatakan pembelian produk militer dari luar negeri harus melibatkan industri pertahanan nasional, ada alih teknologi, dan memiliki kandungan lokal.
Pembelian radar dari Thales Raytheon Systems tak memenuhi syarat itu. Thales tidak melakukan alih teknologi dengan alasan tidak siapnya industri dan sumber daya manusia Indonesia. Alasan ini jelas melanggar undang-undang. TNI semestinya memastikan setiap pembelian produk militer asing disertai penyiapan industri dan sumber daya manusianya.
Sayangnya, peraturan yang ada belum melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan banyaknya kasus kongkalikong dan penggelembungan harga, sudah sepantasnya pemerintah mempertimbangkan keterlibatan kedua lembaga itu.
Menurut Indeks Antikorupsi Pertahanan Pemerintah 2015 dari Transparency International, Indonesia masuk peringkat kelompok D atau kategori korupsi berisiko tinggi. Ini terutama karena lembaga-lembaga pertahanan kurang transparan.
Pemerintah perlu menengok, misalnya, ke Korea Selatan, negara yang oleh Transparency International digolongkan ke kelompok C atau kategori korupsi berisiko sedang. Negeri ginseng itu berusaha membuat lembaga pertahanannya lebih transparan dengan menyusun mekanisme audit rutin. Audit dilakukan oleh Bureau of Audit and Investigation, semacam BPK. Mereka juga punya Anti-Corruption and Civil Rights Commission, semacam KPK, yang memiliki divisi khusus antikorupsi di lembaga pertahanan.
Melibatkan lembaga audit dan pengawasan perlu. Sebab, menangani masalah korupsi di lembaga pertahanan bukanlah tindakan haram. Sudah saatnya TNI lebih terbuka. TNI tak boleh terus-menerus berlindung di balik kerahasiaan militer. Dalih ini hanya akan menjadi ladang subur bagi para koruptor dan agen pedagang senjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo