Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayang-bayang kekurangan penerimaan pajak terus mengintai. Kinerja penerimaan pajak, yang merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara, mulai melambat. Realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2019, misalnya, hanya tumbuh 2,43 persen, jauh lebih rendah dibanding periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 14,2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komparasi dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) agaknya tidak mengubah kesimpulan. Kinerja PNBP hanya tumbuh 8,6 persen secara tahunan, jauh lebih rendah daripada pertumbuhan setahun sebelumnya yang mencapai 18,1 persen. Sektor sumber daya alam yang menjadi tumpuan PNBP sepertinya juga tengah menghadapi tekanan.
Rendahnya pertumbuhan penerimaan pada pertengahan tahun seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar mawas diri. Ironisnya, pemerintah malah menyiapkan insentif fiskal di sejumlah sektor usaha.
Tarif pajak penghasilan (PPh) atas hunian mewah, pajak penjualan barang mewah di subsektor otomotif, serta kegiatan penelitian, pengembangan, dan pelatihan vokasi baru saja dipangkas. Insentif fiskal lanjutan yang sedang disimulasikan adalah pemotongan PPh badan, pembebasan pajak, pengurangan pajak jumbo, subsidi pajak, dan relaksasi PNBP.
Berbagai langkah tersebut dimaksudkan sebagai stimulan untuk mendorong investasi yang diproyeksikan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi utama pada masa mendatang. Harapan pada komponen ekspor agak redup menyusul prospek perekonomian global yang masih diliputi suasana ketidakpastian.
Skenario tersebut masuk akal. Pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh investasi menawarkan banyak keuntungan. Penanaman modal langsung dari luar negeri senantiasa diikuti eksternalitas positif berupa transfer teknologi. Keterampilan tenaga kerja lokal dengan sendirinya akan ikut terangkat.
Selain berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi yang dibimbing oleh investasi membawa imbas melalui mata rantai jaringannya. Investasi domestik bersentuhan langsung dengan penciptaan kesempatan kerja guna menekan angka pengangguran sehingga berpotensi memperbaiki ketimpangan.
Namun apakah berbagai bentuk insentif fiskal tersebut memang menjadi kebutuhan mendesak bagi investor? Insentif fiskal adalah salah satu determinan kegiatan penanaman modal, tapi bukan satu-satunya. Jangan sampai inti masalah ada di ranah lain, tapi insentif fiskal yang dijadikan solusi.
Kalaupun sudah sesuai dengan kebutuhan, apakah investor bersedia memanfaatkannya? Berbagai macam insentif itu terbukti tidak menarik minat investor. Tampaknya, insentif fiskal hanya manjur untuk negara maju daripada negara berkembang (IMF, 2012).
Hal itu menyarankan perlunya kebijakan tambahan dalam mengantisipasi dampak insentif fiskal. Dampak langsung yang paling nyata adalah kehilangan potensi penerimaan negara, sementara pemerintah masih harus mengeluarkan biaya administrasi dan pengelolaan insentif.
Kehilangan itu sudah dicatat dalam belanja perpajakan. Sebagai gambaran, besaran belanja perpajakan untuk 2016 dan 2017 masing-masing senilai Rp 143,6 triliun dan Rp 154,7 triliun, atau sekitar 1 persen dari produk domestik bruto.
Belanja perpajakan adalah penerimaan pajak yang hilang atau berkurang sebagai akibat ketentuan khusus yang berbeda dengan sistem perpajakan umum. Artinya, belanja perpajakan condong merujuk pada kebijakan permanen, alih-alih insentif yang bersifat temporer.
Pengakuan atas pembayaran pajak yang tidak jadi diterima karena insentif tentu saja sangat konstruktif dalam membangun kualitas sistem anggaran yang lebih baik, transparan, ideal, dan berkeadilan. Sebab, insentif pajak, meskipun tidak masuk ke kas negara, tetap dicatat sebagai pajak.
Kehilangan itu niscaya akan terkompensasi oleh potensi basis pajak baru dalam jangka menengah. Dengan logika yang sama, kelebihan penerimaan perpajakan sebagai akibat implementasi insentif perpajakan juga harus diukur.
Maka, pendekatan belanja insentif perpajakan akan dapat meminimalkan, bahkan mengeliminasi penghitungan pajak yang tidak menunjukkan kuantitas yang seharusnya. Dalam lingkup yang lebih luas, kalkulasi belanja insentif perpajakan dapat mengenali berbagai potensi yang bisa merugikan anggaran negara.
Tanpa pengungkapan belanja insentif, posisi insentif fiskal menjadi dilematis. Jika relaksasi perpajakan dipandang lebih condong pada stimulus, tujuan peningkatan investasi akan efektif. Sebaliknya, apabila pelonggaran perpajakan ditangkap hanya sebagai insentif, sektor privat merasa tidak memiliki keharusan untuk segera meresponsnya.
Dengan pengungkapan belanja insentif fiskal yang komprehensif, belanja insentif perpajakan menjadi rujukan dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan risiko fiskal. Bagi investor luar negeri, belanja insentif perpajakan merupakan informasi yang sangat berharga dalam menghitung risiko negara.
Dalam perspektif yang luas, insentif yang bersifat sementara memiliki dampak jangka pendek yang lebih besar daripada kebijakan yang permanen. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah, yang merupakan faktor lain di luar keputusan untuk memberikan insentif, berfungsi sebagai subsidi investasi yang baik.
Pada akhirnya, insentif fiskal menjadi syarat perlu untuk memacu investasi tapi belum mencukupi untuk menjangkau pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Intinya, pemerintah harus menjaga marwah insentif fiskal dengan mendedikasikannya dalam koridor perbaikan iklim investasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo