Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menolak Omnibus Law

Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tak boleh mengabaikan suara mahasiswa, buruh, dan aktivis masyarakat sipil yang menolak rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

10 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tak boleh mengabaikan suara mahasiswa, buruh, dan aktivis masyarakat sipil yang menolak rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Penolakan itu kemarin disampaikan lewat aksi #GejayanMemanggilLagi di Yogyakarta dan sejumlah gerakan lain di berbagai kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengabaian atas suara-suara kritis ini tak hanya akan meneguhkan pandangan bahwa pemerintah dan DPR sengaja menutup akses pada aspirasi publik, tapi juga berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis berkepanjangan. Janji Presiden Joko Widodo dan jajaran menterinya untuk memberi kesempatan kepada publik memberikan masukan atas rancangan peraturan ini harus ditepati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, saat ini, ada indikasi pemerintah cenderung menolak mendengarkan suara yang kritis terhadap rancangan omnibus law. Bahkan sejumlah laporan dari beberapa elemen masyarakat sipil mengungkap adanya upaya pembungkaman atas mereka yang berusaha menyuarakan penolakan RUU Cipta Kerja.

Sejumlah buruh yang sedang merancang demonstrasi menolak peraturan sapu jagat ini di Jakarta dilaporkan diciduk polisi. Polisi berkilah penangkapan para buruh itu dipicu oleh adanya aduan dari kelompok buruh lain. Namun momentum penangkapan yang bersamaan dengan rencana aksi penolakan omnibus law jelas menerbitkan curiga.

Pekan lalu, aparat keamanan juga menangkap sejumlah mahasiswa yang berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR di kawasan Senayan. Meski akhirnya mereka dilepas, polisi tak pernah menjelaskan alasan penangkapan itu.

Upaya kriminalisasi terhadap mahasiswa, buruh, dan aktivis yang menolak omnibus law ini jelas bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberi ruang untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Mereka yang berusaha menghalangi warga negara menyampaikan aspirasinya justru yang harus ditangkap.

Apalagi, proses perumusan RUU Cipta Kerja ini sudah keliru sejak awal. Materi pembahasan naskah peraturan ini dirahasiakan dari publik, sesuatu yang jelas menyalahi Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khalayak ramai baru diundang untuk memberikan masukan setelah naskah aturan ini diajukan pemerintah ke DPR.

Belum lagi soal isinya. RUU Cipta Kerja akan mengubah 1.244 pasal di lebih dari 79 undang-undang. Bukan hanya peraturan soal gaji, hubungan kerja, dan hak buruh, omnibus law ini juga akan menghilangkan sejumlah aturan mengenai perlindungan lingkungan dan izin berusaha. Tanpa kajian yang memadai, mengubah sekian banyak peraturan justru akan menimbulkan bencana baru dari sisi kepastian berusaha dan investasi.

Bisa dipastikan, aksi #GejayanMemanggilLagi hanya awal dari rangkaian gerakan masyarakat sipil untuk menolak omnibus law. Alih-alih berkeras menolak suara berbeda dan mencoba mengegolkan peraturan yang sudah keliru sedari awal ini, pemerintah sebaiknya berkompromi dan mendengarkan masukan dari khalayak ramai. Presiden Jokowi harus segera menarik RUU Cipta Kerja dari DPR.

 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus