DI desa itu terdapat 5 buah sepeda motor, 70 buah sepeda, 80
buah gerobak dan 750 ekor sapi. Penduduknya 2255 jiwa alias 486
Kepala Keluarga dengan mata pencharian bertani. Lalu terdapat
sebuah SDN Inpres dan sebuah yang non Inpres yang sempat macet
karena kekurangan guru. Panjipatan nama desa itu, terletak di
daerah tingkat II Tanah Laut, Kecamatan Pleihari. Nah, itulah
gambaran sebuah desa yang memiliki luas daerah 14 ribu hektar
yang income per kapitanya menurut si Kepala Desa adalah
pas-pasan. Berapa itu? "Entahlah", jawab sang Lurah terus
melanjutkan, "pokoknya habis tahun, habis pula hasil panen".
Lebih menyedihkan lagi hasil panen yang dimakan oleh orang desa
Panjipatan itu tidak 100% pula bersumber dari desa yang dulu
kalanya berpenghasilan pokok kayu ulin ini. Melainkan dari desa
sebelah menyebelahnya. Makanya jangan heran bila anda berkunjung
ke desa ini tidak banyak menemukan penduduk yang tetap tinggal
di rumah. "Mereka enam bulan di sawah, 6 bulan di rumah", ujar
Sutera Ali - sang Kepala Desa--kepada TEMPO.
Sutera Ali seakan hendak mengatakan bahwa, penduduknya yang
tidak banyak itu cuma 6 bulan bekerja dalam 1 tahun. Selebihnya
nganggur memakan hasil kerja yang selama 6 bulan tadi. Itulah
sebabnya, Sutera pilu juga melihat tabiat warga desa yang
tidakpandai mempergunakan waktu itu. Walau begitu, Sutera jelas
tidak bisa mengkambinghitamkan warga kampungnya, apalagi menuduh
sebagai pemalas. Sebab seperti yang dikatakan oleh beberapa
orang penduduk setempat "apa yang bisa kami kerjakan di desa
ini, kecuali memancing ikan sebagai kerja sambilan". Itupun
hasilnya tidak bisa diktaakan lumayan. Maksud mereka, di desanya
itu tidak banyak areal sawah ladang yang bisa digarap.
Handil
Padahal tanah untuk bersawah cukup banyak, bahkan sangat
berlebihan kalau hanya digarap oleh 486 Kepala Keluarga. Aneh?
Tidak. Sebab ada danau. Ini danau oleh Sutera Ali dianggap
sebagai biang kerok penyebab warga kampungnya tidak bisa
bertanam padi di kandang sendiri. Konon menurut Sutera, danau
itu terlalu banyak mengandung air tanpa saluran pembuangan
hingga para petani tidak bisa menanam padi. Menurut keyakinan
penduduk di sini, bila dibuatkan saluran (handil) untuk membuang
air di danau itu ke laut, maka ribuan hektar sawah bisa dibuka.
Masih menurut sang Kepala Desa, pada tahun 1974 di danau itu
sudah dibuatkan handil sepanjang 4 Km denga memakai duit Inpres.
Lalu dilakukan pengerukan. Sayang pengerukan ini tidak
diteruskan dan bisa diartikan duit Inpres tadi terbuang dengan
percuma. "Bila sawah itu bisa dibuka, maka tidak hanya orang
Panjipatan bisa makan dari hasil sawah tersebut. Bahkan orang
Banjarmasin bisa dicukupi dari hasil di sini", ujar Sutera
meyakinkan.
Itu khabar pertama dari desa Panjipatan. "Yang kedua, adalah
ihwal sarana perhubungan", tulis Pembantu TEMPO Sjaehran.R.
Sebab jalan yang bisa dilintasi oleh motor hanya sampai pada
pusar desa Panjipatan saja. Ke sebelahnya, untuk menuju desa
Batakan atau Kandangan misalnya, sudah 20 tahun terputus.
Padahal sebelumnya, mobil boleh bebas lalu-lalang membawa barang
dan penumpang di ketiga desa itu. Bagi penduduk desa Kandangan
dan Batakan yang mayoritas kaum nelayan itu, untuk membawa hasil
tangkapan ikannya ke Banjarmasin terpaksa lewat laut dengan
klotok atau perahu layar. "Kalau angin sedang baik 5 atau 6 jam
sudah sampai ke Banjarmasin. Tapi bila topan lagi murka, tidak
saja sehari dua baru sampai. Bahkan salah-salah jiwa
taruhannya", begitu menurut Hamsi seorang nelayan dari Batakan
mengatakan. Sebaliknya bila jalan yang terputus tadi bisa
dilintasi, 3 jam sudah sampai ke Banjarmasin. Tak urung, jalan
inipun menjadi sasaran kehendak agar diperbaiki. Menurut H. Gt.
Thamrin dari kantor Gubernur Kalsel, jalan yang terputus itu
sepanjang 3 Km. Bila itu diperbaiki akan menelan biaya tidak
kurang dari Rp 30 juta. Karena harus dinaikkan setinggi 2 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini