Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Menunggu Godot Perpu KPK

Presiden Joko Widodo tidak kunjung memutuskan apakah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi atau tidak.

9 Oktober 2019 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denny Indrayana
Associate Director di Centre for Indonesian Law, Islam and Society, Melbourne University Law School, Australia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo tidak kunjung memutuskan apakah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi atau tidak. Berbagai desakan dari kelompok masyarakat tidak kunjung meyakinkan Presiden. Tekanan politik, atau lebih tepatnya kepentingan dan kekuatan kelompok koruptif, membuktikan bahwa mereka masih punya daya tawar kuat di hadapan Presiden, sehingga harapan ideal untuk menantikan perpu penyelamatan KPK ibarat "menunggu Godot".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun pesimistis, saya ingin urun rembug bagaimana idealnya isi perpu tersebut dan bagaimana mengantisipasi politik hukum lanjutan agar perpu itu tidak mubazir.

Pada akhir September 2014, menjelang akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyoho (SBY), Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung pada 26 September 2014 mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang dikenal sebagai UU Pilkada, yang mengubah pemilihan langsung kepala daerah menjadi pemilihan tidak langsung alias dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dalam hitungan hari, penolakan atas rancangan ini meluas dan menjadi berita utama di berbagai media massa. Presiden SBY, yang kala itu sedang melawat ke Amerika Serikat, meresponsnya dengan cepat. Dalam jarak hanya sepekan, SBY menerbitkan dua perpu sekaligus, yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Kebetulan, saya yang saat itu tengah mengemban amanah selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terlibat dalam proses penyiapan kedua perpu tersebut.

Hari telah larut malam, mendekati pukul 23.00 WIB, Sabtu, 27 September 2014, ketika SBY menelepon dari Amerika. Dalam pembicaraan sekitar setengah jam itu, saya mencatat dialog penting sebagai berikut. Saya bertanya, "Apakah Bapak Presiden hanya tidak sepakat dengan rancangan UU Pilkada tidak langsung yang baru saja disetujui di forum DPR atau lebih jauh Bapak betul-betul menolak pilkada tidak langsung dan tetap memperjuangkan pilkada langsung?"

"Saya ingin pilkada langsung oleh rakyat dan menolak pilkada oleh DPRD," kata SBY.

Saya mengusulkan agar SBY menjalankan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945, yaitu menerbitkan perpu yang mengembalikan pilkada langsung. SBY meminta saya menyiapkan bahan dan kajiannya.

Esok paginya, saya berdiskusi dengan empat ahli hukum tata negara, yaitu Mahfud Md., Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra, dan Refly Harun. Lalu besoknya, saya kembali mengumpulkan beberapa ahli hukum tata negara untuk berdiskusi di kantor Kementerian Hukum guna menyiapkan dan mengantisipasi penerbitan perpu.

Setibanya di Tanah Air pada 30 September pukul 00.40, Presiden SBY langsung menggelar rapat kabinet terbatas di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Atas perintah Presiden dan seizin Menteri Hukum Amir Syamsuddin, saya mempresentasikan ihwal perlunya perpu untuk menyelamatkan pilkada langsung. Setelah melakukan rapat selama sekitar 3,5 jam, kepada para wartawan yang telah menunggu, SBY menyampaikan tengah menyiapkan plan B untuk mencari solusi persoalan UU Pilkada. Yang dimaksudkan dengan plan B adalah menerbitkan perpu.

Esoknya, saya merampungkan dua draf perpu dan SBY bergerak cepat melakukan lobi-lobi politik dengan pimpinan partai politik di DPR. Singkat cerita, dukungan dari DPR terhadap perpu diperoleh dan SBY akhirnya menandatangani kedua perpu tersebut pada 2 Oktober 2014.

Belajar dari pengalaman tersebut, saya menyarankan agar Perpu Penyelamatan KPK segera ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Hal itu sejalan dengan syarat konstitusional terbitnya perpu, yakni "kegentingan yang memaksa". Makin lambat perpu diterbitkan, makin menunjukkan ketiadaan sifat genting tersebut. Makin lambat dikeluarkan, makin menunjukkan lobi dan kompromi politik sedang bergerilya di sekitar presiden untuk memastikan perpu tidak hadir atau, kalaupun lahir, perpu diaborsi melalui substansi yang tetap melemahkan KPK.

Jokowi harus segera menandatangani Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang KPK yang baru disahkan DPR. Penandatanganan tersebut hanyalah langkah teknis untuk menomori undang-undang itu, sehingga segera setelahnya Perpu Penyelamatan KPK dapat diterbitkan.

Saya menyarankan agar substansi Perpu Penyelamatan KPK hanya satu pasal, yaitu mencabut Undang-Undang Perubahan. Demikian sama halnya dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut UU Pilkada.

Ada pandangan bahwa substansi Perpu Penyelamatan KPK sebaiknya menerima dan membatalkan beberapa bagian saja Undang-Undang Perubahan. Saya tidak setuju dan tidak menyarankan ada norma hukum lain dalam perpu itu. Membuka ruang bagi norma hukum lain di dalam perpu sama saja dengan membuka pintu kompromi substansi yang tetap akan melemahkan KPK.

Untuk memastikan Perpu Penyelamatan KPK efektif, tidak ada jalan lain, kecuali memastikan persetujuan DPR atas perpu tersebut. Presiden Jokowi harus memastikan partai politik koalisinya di DPR mendukung perpu itu. Saya yakin, Jokowi sangat piawai dan sudah paham langkah politik apa yang perlu dilakukan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus