Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Merekam Cerita Orang-orang di Garis Depan Perubahan Iklim

Berkat buku Devi Lockwood, siapa saja mestinya jadi dimudahkan dalam memahami apa itu dan akibat riil dari perubahan iklim.

2 Maret 2022 | 13.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menenggelamkan manekin menyerupai pejabat pengambil keputusan saat aksi respon terhadap KTT perubahan iklim COP26, di pesisir Tambakrejo, Semarang, Jawa Tengah, Jumat 5 November 2021. Mereka mendesak agar pemerintah Indonesia memberikan solusi dan kontribusi nyata dalam mengatasi krisis iklim dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, serta mengedepankan pembangunan yang berkesinambungan dengan alam. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Resensi Buku

Judul: 1001 Voices on Climate Change: Everyday Stories of Flood, Fires, Drought, and Displacement from Around the World
Penulis: Devi Lockwood
Penerbit: Simon & Schuster
Terbit: Agustus 2021
Tebal: 352 hlm. (e-book)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

---

“SAYA tidak membawa kuas ke Tuvalu, tapi saya membekali diri dengan perekam suara. Misi saya: mendengarkan cerita tentang perubahan iklim.”

Namanya Devi Lockwood. Fotonya, dalam beragam momen, tersebar di dunia maya: berkaos oblong atau mengenakan pullover, menggendong ransel, terkadang sedang bersama sepedanya, sebuah Surly Disc Trucker; dan di lehernya selalu tergantung selembar potongan kardus yang bertuliskan kata-kata “Ceritakan kepadaku tentang Perubahan Iklim.”

Biasa bersepeda lagi sejak 2013, Devi mulanya mendapat ide untuk mendengarkan orang kebanyakan bercerita, tentang hal-hal penting dalam hidup mereka, selepas pengeboman dalam lomba maraton di Boston. Menjelang lulus dari jurusan Folklor dan Mitologi di Harvard University, dia memutuskan untuk mengumpulkan penuturan tentang perubahan iklim dari orang-orang biasa di garis depan di enam benua, yang suaranya tak pernah dihiraukan media--suara tentang pengalaman hidup yang bertambah pelik dan berat.

Perempuan yang kini bekerja sebagai editor di Philadelphia Inquirer itu ingin menempatkan cerita-cerita tersebut dalam suatu wadah yang memungkinkan satu dan yang lain seakan-akan berdialog, terutama dengan cerita yang didapatkannya lebih dulu manakala bersepeda 1.200 kilometer menyusuri Sungai Mississippi tak lama setelah pulih dari operasi cedera lutut. Dia ingin tahu makna yang bisa diperoleh.

Dengan “memberi nama dan suara kepada mereka yang terkena dampak... saya ingin memanusiakan isu yang kerap dibahas dalam kaitan dengan angka: milimeter naiknya permukaan laut atau derajat perubahan suhu,” katanya.

Mengapa perubahan iklim? Dan mengapa berfokus kepada air dan perannya bagi orang-orang yang dia temui dalam perjalanan? Devi berpendapat, keduanya merupakan isu yang saling bertautan. Dia menjelaskan di bagian pengantar: “Perubahan iklim sulit divisualisasikan. Air itu mudah dibicarakan. Setiap orang membutuhkan akses terhadap air minum yang aman agar bisa bertahan hidup. Dan setiap orang punya cerita tentang air: menjadi saksi banjir, atau hidup dalam kekeringan, atau bahkan pengalaman belajar berenang.”

Untuk trip--sebagian besar dengan bersepeda--yang direncanakannya tersebut, dia mengajukan proposal ke mana-mana. Banyak yang menolak. Dia beruntung mendapat dukungan dana dari Gardner Traveling Fellowships, satu-satunya pihak yang menjawab ya untuk permohonan yang disampaikannya.

Buku berjudul 1001 Voices on Climate Change: Everyday Stories of Flood, Fires, Drought, and Displacement from Around the World ini, kumpulan berbagai cerita yang dia dapatkan selama lima tahun, mengikuti perjalanannya sejak dari Tuvalu. Negara mini berupa atol atau pulau karang di Pasifik bagian selatan ini terancam tenggelam karena naiknya permukaan air laut. Dia bertemu dan berinteraksi, di antaranya, dengan kepala kantor meteorologi setempat, yang menunjukkan bagaimana intrusi air laut memustahilkan penanaman bahan pangan pokok penduduk Tuvalu; petugas counter penjual kartu telepon, yang memberinya tumpangan menginap serta mengajarinya menghemat air dan melarangnya ikut mencuci piring karena “orang kulit putih tak tahu cara mencuci piring tanpa menghabiskan air”; dan koordinator proyek badan adaptasi nasional, yang menggambarkan kepadanya bahwa air laut bukan saja naik dan datang dari kawasan pantai, “tapi juga muncul dari dalam tanah”.

Di Tuvalu, Devi dipaksa menyadari keturutsertaannya sebagai warga Amerika Serikat dalam ketidakadilan lingkungan di tataran global. Warga Tuvalu yang dia temui adalah sebagian dari penduduk bumi yang paling terdampak oleh perubahan iklim tapi justru teramat sedikit berkontribusi kepada hal-hal yang menjadi penyebabnya.

Lalu, dia melawat dari kawasan hutan hujan Amazon ke Lingkar Arktik, mendengarkan para pencerita lain di sepanjang perhentian. Dia merekam banyak kisah dari para orang tua, khususnya ibu-ibu, yang memutuskan untuk menyingsingkan lengan baju merespons ancaman bencana. Dia bahkan bersua dengan Trisha Dello Iacono pada saat berlangsung People’s Climate March di Washington D.C. Iacono adalah Manager Lapangan dan Legislatif di Moms Clean Air Force, sebuah komunitas yang berjuang melawan polusi udara demi kesehatan anak. Cerita pertanian keluarga Iacono ikut mengisi buku ini.

Ada kisah lain dari, umpamanya, Katrine Boel Gregussen di Norwegia. Di dapur rumahnya, perempuan yang pada masa mudanya aktif di Partai Sosialis Kiri dan sempat melihat sendiri kerusakan di Greenland ini membagikan kecemasannya tentang kecanduan negaranya terhadap minyak. Dia menyebut hal itu sebagai penyebab sikap “tak hormat terang-terangan terhadap dampaknya bagi masa depan”. Tapi dia melihat masih ada harapan karena munculnya generasi muda pencinta lingkungan.

Devi juga menuturkan cerita tentang, antara lain, seorang perempuan Uganda bernama Gertrude. Dia menjumpainya di Maroko, pada 2016, saat berlangsung United Nations Climate Change Conference di Marakesh. Dengan dorongan motivasi kesetaraan gender, Gertrude bertolak menghadiri konferensi itu demi upaya memperlihatkan dampak yang tak adil dari perubahan iklim terhadap perempuan.

Berbeda dari buku-buku lain yang tergolong telak dan menggugah tentang ancaman katastrofi akibat perubahan iklim, misalnya The Uninhabitable Earth dan The Future We Choose, Devi tak menjejali bukunya dengan statistik dan analisis, juga argumentasi. Dia hanya bertindak sebagai pendongeng, mengantarkan detail dari orang-orang yang membuka diri kepadanya, walau di sana-sini membubuhkan pula perenungan pribadinya. Dia percaya cerita yang disampaikan dengan baik, dengan penuh empati, bukan saja mampu menyentuh pembaca, melainkan juga memotivasi mereka untuk bertindak.

Menurut pengamatannya, percakapan tentang perubahan iklim kerap mengabaikan orang-orang yang seharusnya didengar. Karena itu, melalui cerita yang dia himpun ini, dia menghadirkan mereka, yang tinggal di tempat terpencil atau yang bisa didengar pendapatnya di dapur, demi mengisikan “tekstur dan nuansa yang utuh”.

Dalam situasi krisis, membuka telinga semacam itu sangat diperlukan. Seperti diyakini pula oleh Devi, mendengar adalah titik tolak untuk memulai perjalanan membangun solusi. “Kalau kita membangun solusi yang tak menghiraukan suara orang-orang yang bakal terdampak, itu berbahaya--dan lebih penting lagi: tidak efektif,” katanya.

Berkat buku seperti ini, siapa saja yang belum punya bayangan, apalagi para pembuat kebijakan, mestinya jadi dimudahkan dalam memahami apa itu dan akibat riil dari perubahan iklim. Jelas, tak perlu mengikuti jejak Devi untuk ini, termasuk dengan mengalungkan potongan kardus bertuliskan “Ceritakan kepadaku tentang Perubahan Iklim.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Purwanto Setiadi

Purwanto Setiadi

Kontributor Tempo, menulis isu-isu lingkungan, transportasi berkelanjutan, dan sesekali ulasan musik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus