BANYAKNYA orang berbelanja pada akhir tahun tidak mengherankan, berhubung adanya hari raya Natal dan Tahun Baru. Demikian pula di Jepang. Jalan-jalan di pusat pertokoan penuh sesak. Di tempat penyeberangan, jika lampu sudah hijau, manusia yang menyeberang bergerak seperti air bah. Department store yang terkenal, yang terdapat di semua kota, seperti Hankyu Takashimaya, Daimaru, Kintetsu, penuh manusia yang berdesak dan barang yang berlimpah ruah. Terdapat pula toko-toko kecil yang menjual barang-barang yang sama dengan yang di toserba. Masih ada lagi butik-butik untuk pakaian perempuan dan laki-laki, yang harganya bukan kepalang juga untuk orang Jepang - sehingga kebanyakan agak kosong dari pembeli, kecuali kalau dipasang merk sale 50% atau 30%. Tetapi tidak di semua lantai toserba terdapat orang berjubel. Di lantai barang eksklusif, seperti dari perancang terkenal semacam Hanae Mori, atau sepatu merk Yoshinaya, yang benar-benar membeli dengan mengepas biasanya hanya beberapa gelintir orang, yang dari penampilannya jelas termasuk elite berduit. Yang padat manusia adalah lantai khusus barang sale, yang sebenarnya terdapat sepanjang tahun. Barang sale itu tidak selalu barang yang tadinya harganya dua tiga kali lipat. Kerap kali barang tersebut memang dibuat untuk penjualan murah, dan kualitas serta pekerjaannya juga sesuai dengan harga yang murah. Berjubelnya pembeli tentunya menunjukkan daya beli yang kuat. Dan memang demikian. Akhir tahun berarti penerimaan bonus bagi tiap salaried man, baik swasta maupun pemerintah. Berapa bonus itu ? The Japan Times, 11 Desember 1986, menginformasikan bahwa pada akhir 1986 pemerintah Jepang membayar kepada para pegawai negeri Y 3 trilyun. Bonus yang paling besar diterima oleh Ketua Mahkamah Agung - Y 4,52 juta, kemudian Perdana Menteri Nakasone - Y 4,49 juta. Pimpinan parlemen (Diet), dari Majelis Rendah sampai Majelis Tinggi, masing-masing menerima Y 4,19 juta, sedangkan anggota parlemen biasa mengantungi Y 2,49 juta. Di Jepang terdapat 4,75 juta pegawai negeri, baik tingkat nasional maupun lokal. Mereka semuanya, dari Nakasone sampai pesuruh menerima bonus dua kali setahun - sebagai tunjangan khusus untuk mengimbangi upah yang diterima sektor swasta. Bonus akhir tahun ini sama dengan 1,9 bulan gaji pokok ditambah 0,6 bulan "tunjangan karena rajin". Jadi, seluruhnya 2,5 bulan gaji pokok. Rata-rata seorang pegawai negeri tingkat nasional menerima 637.000, dan tingkat lokal (guru, polisi, anggota parlemen daerah) Y 641.000. Menurut surat kabar itu, rupanya pegawai sektor swasta rata-rata menerima lebih sedikit dari pegawai negeri - 420.000. Tapi kita perlu menyadari bahwa di sektor swasta variasi lebih besar. Buktinya, menurut dugaan tidak resmi, secara keseluruhan jumlah total bonus yang dibayar sektor swasta pada akhir 1986 adalah Y 15,7 trilyun, lima kali dari yang dibayar pemerintah! Bonus itu, yang diterima dua kali setahun, selain diberikan pada akhir tahun, juga pada musim panas - sebanyak dua bulan gaji pokok. Jadi, dalam setahun bonus berjumlah 4,5 kali gaji pokok bulanan. Kita, yang berpikir dalam rupiah, mengingat kurs Y 1 kurang lebih Rp 10, hanya bisa bengong melihat angka yang mereka terima. Tetapi kita perlu menyadari bahwa pengeluaran orang Jepang juga bukan kepalang. Negara ini salah satu negara dengan standar hidup paling tinggi di dunia. Bagi kita yang pemakan nasi, yang paling mencolok di sana adalah harga beras: Y 500 per kilo. Bayangin, bisa beli berapa kilo di Jakarta dengan uang itu? Blus yang biasa saja, walaupun dengan sale, paling sedikit Y 2.500-3.000. Suatu survei yang diadakan Sumitomo Bank di Osaka menemukan, dari 500 responden (penerima gaji yang berkeluarga, di daerah Tokyo dan Osaka, dengan umur rata-rata 40,8 tahun), bisa dihitung jumlah pengeluaran akhir tahun (hadiah untuk atasan terdekat) keluarga yang lebih tua dan anak-anak, serta berbagai keperluan ritual, seperti mengunjungi kuil), yang rata-rata Y 134.000. Termasuk untuk suatu kebiasaan akhir tahun yng dinamakan bo neng kai (pesta melupakan tahun lampau). Biasanya, perusahaan atau kantor mengadakan pesta itu dengan para staf dan pekerja membayar suatu jumlah nominal. Di samping itu, tergantung banyaknya kelompok yang dimasuki. Seseorang bisa ikut dalam sejumlah besar pesta akhir tahun. Mengingat besar kecil ongkosnya tergantung tingkat kemewahannya, perkirakan sajalah seseorang akan merogoh saku dan mengeluarkan 10.000-15.000. Tidak semua orang Jepang menikmati bonus, tentu. Di suatu kedai yakiniku (seperti bar, dengan tempat duduk tinggi menghadapi meja melengkung dengan lima tempat pembakar daging, dan hanya ada tempat untuk 10 orang), si pemilik kedai dan seorang tamu (tukang borongan kecil untuk perbaikan gedung/rumah) mengatakan, bonus hanya dinikmati pegawai negeri dan pegawai perusahaan besar. Tetapi, seorang ilmuwan sosial Jepang menjelaskan, para self employed juga menikmati kenaikan penghasilan: mereka yang menerima bonus menggunakan uang untuk memakai jasa dan keterampilan para tukang borong kecil-kecilan itu. Alhasil, gambaran yang kita peroleh dari perilaku orang Jepang pada akhir tahun adalah masyarakat yang consumer-oriented bukan hanya dengan membeli barang mewah, tapi juga melakukan olah raga yang mahal, makan-makan di restoran yang mewah (untuk satu orang paling sedikit Y 10.000), dan melakukan perjalanan ke luar negeri. Dari 24 Desember sampai 4 Januari tidak ada gunanya mencari tiket ke luar negeri, terutama ke Hawaii - sudah fully booked berbulan-bulan sebelumnya. Transportasi domestik juga penuh sesak, seperti musim Lebaran di Indonesia. Peri laku demikian ditimpali atau dirangsang oleh iklan dan service yang sangat customer-oriented, sehingga si pembeli merasa seperti raja dan mengeluarkan uang seperti raja. Ditambah lagi pihak manufacturing yang amat production-oriented, dengan mengeluarkan barang baru terus-menerus. Memang, karena rumah orang Jepang umumnya sangat kecil (mereka sendiri menamakannya "kandang kelinci"), tidak ada gudang atau tempat menyimpan barang yang tidak dipakai lagi. Tidak jarang ditemukan TV yang masih berfungsi atau sepeda yang masih baik pada hari pengangkutan sampah. Dengan adanya orientasi kepada konsumsi, orientasi kepada konsumen, dan orientasi kepada produk, yang saling menunjang dan merangsang, dan dengan penduduk yang menurut sensus nasional 1985 berjumlah 121 juta, dan merupakan pasaran intern yang kuat, maka lancarlah ekonomi di Jepang, sedikitnya ekonomi domestik. * Mely G. Tan, Ph.D., adalah ahli peneliti utama LIPI, Jakarta, yang sedang berada di Kyoto sebagai visiting research scholar atas undangan Kyoto University Center for Southeast Asian studies.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini