Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toriq Hadad
@thhadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka kemiskinan diributkan lagi belakangan ini. Saya teringat pada Profesor Sajogyo. Dosen mata kuliah sosiologi pedesaan di kampus IPB ini gampang dikenali: jenggot putihnya panjang menjurai. Pembawaannya tenang, bicaranya hampir tanpa emosi. Barangkali karena selalu menjaga kalori makanan, beliau berumur panjang. Wafat di usia 85 tahun pada 2012. Sajogyo dikenang sebagai "Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karyanya yang terkenal adalah garis kemiskinan. Ini ukuran yang dipakai untuk menyatakan seorang penduduk itu miskin atau tidak. Garis kemiskinan versi Sajogyo dipakai luas sejak 1977. Dan baru tujuh tahun kemudian pemerintah memakai garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Ukuran Sajogyo sederhana. Orang tergolong miskin kalau mengkonsumsi pangan kurang dari nilai tukar 240kg beras setahun di pedesaan atau 369kg di perkotaan. Hitungan Sajogyo itu berasal dari nilai kalori minimal yang harus dikonsumsi manusia. Bank Dunia juga punya ukuran yang simpel. Kalau seseorang tak mampu mengeluarkan US$ 1,9 per hari untuk membeli pangan, maka dia tergolong miskin.
Badan Pusat Statistik lebih suka alat ukur yang njelimet. Ada dua garis kemiskinan: garis kemiskinan makanan dan non-makanan. Garis kemiskinan makanan dihitung dari pengeluaran seseorang untuk membeli pangan setara dengan 2.100 kalori. Tidak kepalang tanggung, ada 52 jenis makanan yang masuk survei sosial-ekonomi nasional BPS.
Sedangkan garis kemiskinan non-makanan dihitung dari kebutuhan minimum seseorang akan perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. BPS mengukur 51 jenis komoditas di kota dan 47 jenis komoditas di pedesaan.
Sulit untuk tidak percaya pada pengukuran BPS ini. Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian, BPS agaknya paham betul betapa sensitifnya pengukuran kemiskinan ini. Kemiskinan (juga pengangguran) sering kali menjadi komoditas politik. Selalu menjadi bahan debat kelompok pendukung pemerintah dan barisan pengkritik, terutama pada masa menjelang pemilihan presiden seperti sekarang ini.
Contohnya ketika BPS melansir angka kemiskinan 2015 sampai 2018 belum lama ini. Pada Maret 2015, jumlah orang miskin 28,59 juta atau 11,22 persen penduduk. Pada 2018, juga di bulan Maret, jumlahnya 25,95 juta atau 9,82 persen. Mereka yang pro-pemerintah bilang: untuk pertama kali angka kemiskinan di bawah dobel digit, ini yang paling rendah sejak tiga tahun lalu. Kelompok ini mengatakan program penyaluran beras untuk kelompok berpenghasilan rendah berhasil.
Barisan pengkritik akan bilang: orang miskin tetap saja banyak secara absolut. Penduduk Australia hanya 24,13 juta, kalah banyak dengan penduduk miskin Indonesia.
Debat begini bisa tak berkesudahan. Padahal yang terpenting adalah membuktikan apakah pemerintah serius dalam mengurangi angka kemiskinan atau hanya menjadikan program pemberantasan kemiskinan sekadar politik "bedak dan lipstik" untuk mendongkrak elektabilitas. Pembuktian bisa dimulai dari menilai kemandirian BPS dalam mengukur angka kemiskinan ini.
Yang ideal, BPS mandiri melakukan survei, tidak diperintah untuk bekerja setelah lembaga pemerintah membagi-bagikan beras "rastra". Bila BPS diatur melakukan survei setelah beras dibagi, hasil survei jelas terkesan manipulatif. Tapi bagi kelompok miskin, pilihannya hanya satu: lebih baik pemerintah membagi-bagi beras ketimbang tidak membagikan apa pun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo