Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA apa dengan Picasso? Atau Sudjojono? Di sekitar 1950, sewaktu Sudjojono belum 40 tahun, ia memutuskan sesuatu yang tak biasa: bersama seniman lain naik sepeda dari Yogya ke Jakarta. Tujuan mereka mendesak Presiden Sukarno agar menyetujui ide Sticusa, sebuah lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta, menyelenggarakan pameran besar karya-karya perupa Eropa abad ke-20: Picasso, Matisse, Braque.
Cerita ini saya petik dari kesaksian Willem Mooijman, yang waktu itu bekerja di Sticusa. Saya menemukannya dalam buku yang menarik tentang sejarah seni dan kesenian Indonesia antara tahun 1950 dan 1960, Ahli Waris Budaya Dunia, yang disunting Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.
Sejauh mana Mooijman akurat, saya tak tahu. Yang jelas, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan tak pernah mencatat adanya pameran besar kanvas Picasso. Sudjojono gagal. Bung Karno menolak.
Mungkin Sudjojono tak tahu betapa rumitnya membuat pameran seperti itu. Mungkin juga selera seni rupa Bung Karno lain: bukan Picasso yang terpukau seorang perempuan dan membuat wajahnya seakan-akan retak. Bung Karno lebih menyukai perempuan dengan paras makin cantik dan tubuh menonjol. Baginya itulah yang "indah", seperti lukisan kembang sumringah, gunung dan laut biru, sawah menguning.
Sudjojono, kita tahu, mencemooh selera "Mooi Indie" macam itu. Bagi penikmat "Hindia yang molek," kata Sudjojono, "semua serba bagus dan serba romantis, semua serba enak, tenang, dan damai." Ia menghendaki perupa Indonesia melukiskan pabrik gula dan petani lapar, mobil si kaya dan celana kumuh si miskin. Sudjojono, yang kemudian jadi wakil Partai Komunis di parlemen, ingin menunjukkan realitas Indonesia bukan sawah dan angin sepoi-sepoi basa. Realitas: pertentangan kelas.
Tapi menarik bahwa Sudjojono lebih menginginkan pameran karya Picasso, Braque, dan Matisse dari Paris, bukan karya-karya Gerasimov dan Brodsky dari Moskow. Jika kita lihat lukisannya, Cap Go Meh, yang menghadirkan wajah-wajah ganjil, buruk, dan seram, Sudjojono tak akan cocok dengan formula Lunacharski, menteri kebudayaan Soviet yang diangkat Lenin; Lunacharski menghendaki representasi "tubuh yang sehat, wajah yang ramah, dan senyum yang cerdas dan bersahabat".
Dengan kata lain, Lunacharski juga menghendaki yang "serba bagus", tenang, dan tertib. Stalin kemudian menegaskannya lebih jauh dengan mengharuskan optimisme—demi pembangunan. Mungkin bukan kebetulan jika di Jerman Hitler juga memaklumkan doktrin yang mirip. Nazi mengganyang seni rupa seperti karya Otto Dix sebagai Entartete Kunst, "seni rupa bobrok", karena di kanvas itu wajah dan tubuh tampak peyot seperti sakit oleh hidup yang terluka.
Dengan kata lain, penampilan tubuh harus sejalan dengan penertiban manusia: tata harus ditegakkan di atas hidup yang bergejolak—sesuatu yang juga tersirat dalam estetika "Hindia Molek". Sebab "Mooi Indie" adalah kanvas-kanvas yang mandul, bahkan mati. "Hindia Molek" mengemuka karena sudut pandang kolonialisme.
Kolonialisme tak ingin citra koloni adalah kehidupan yang resah, kegelisahan di bawah represi. Semua tenang, karena semua terkendali. Semua tampak statis, melalui "tatapan kolonial": melalui fokus dan pigura yang dipegang erat sang penjaga Orde.
Wajar jika estetika "tatapan kolonial" tak menghendaki "the shock of the new"—guncangan sesuatu yang baru, yang tak terduga-duga, yang menyeruak dalam karya-karya Picasso, Braque, Dali, dan lain-lain, seperti pernah diuraikan penulis sejarah seni rupa Robert Hughes. Guncangan itu disebut "modernisme". Yang "molek" bukan lagi kembang dan perempuan mekar. Segala formula dan kategori dibabat. Duchamp memajang tempat kencing bikinan pabrik sebagai karya seni.
Sebenarnya dengan semangat semacam itu juga Sudjojono membangkang. Seniman Indonesia harus melukis pabrik gula, katanya—tanda perubahan dari masyarakat lama.
Namun, dengan begitu, perlawanan terhadap tatapan kolonial ini tak akan kembali ke dunia pra-pabrik-gula. Sebab kehidupan yang sering dianggap sebagai dunia "Timur" yang anteng itu diam-diam cocok dengan tatapan kolonial: mandek, dan karena itu eksotis.
Itu sebabnya, bagi Sudjojono, kesenian Indonesia harus "ke Barat, untuk menuju Timur". Maka ia ingin Picasso, bahkan siap bekerja sama dengan Sticusa yang Belanda. Sebab ada apa dengan "Barat"? Dengan "Timur"?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo